Bulan Mei ini salah satunya diisi dengan kegiatan Global Future Fellows 2023 by Pijar Foundation.  Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 21 – 25 Mei 2023 di Yogyakarta. Tema utama yang diangkat adalah Achieving Food Security Amid Global Tensions. Tema ini align dengan minat riset saya yang saat ini menjadi peneliti di INDEF – Center Food, Energy and Sustainable Development.

Isu ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia yang saat ini menghadapi beberapa tantangan terkait pangan yakni ketersediaan pangan, krisis iklim pertambahan penduduk, Apabila ketiganya dikelindankan, maka akan menjadi isu ketahanan pangan yang isunya tidak hanya terkotak pada sektor pertanian a.k.a Kementerian Pertanian tapi juga multistakeholder yang sangat banyak dari hulu hingga hilir dari bawah sampai atas.

Read more: Pengalaman Mengikuti Global Future Fellows (GFF) 2023: Achieving Food Security Amid Global Tensions

GFF 2023 mempertemukan beragam stakeholder mulai dari pemerintah, pelaku usaha, akademisi, NGO dan Lembaga riset baik pemerintah maupun non pemerintah. Entitas pemerintah antara lain terdiri dari Badan Pangan Nasional, Bappenas, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Kementerian Pertanian Dari pelaku usaha mayoritas adalah mereka yang fokus pada agriteknopreneur. Pelaku usaha ini mayoritas memiliki start-up yang bergerak pada beragam lini sektor pertanian baik on farm maupun off farm dan juga komoditas mulai dari komoditas berbasis karbohidrat hingga protein baik hewani dan juga nabati.

Keluaran dari GFF ini adalah sebuah dokumen Collaborative Action Plans (CAP) yang akan disampaikan kepada pemerintah sebagai regulator. Harapannya CAP dari GFF 2023 ini akan menjadi salah satu referensi pemerintah dalam mendeliver kebijakan-kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan di Indonesia.

Melalui tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya selama mengikuti kegiatan ini.

Bagian 1 : Perjalanan Ke Jogja

Kereta berada pada list pertama saya dalam memilih moda transportasi ke luar kota, selama kota yang dituju bisa dijangkau oleh kereta api. Ada dua alasan kenapa kereta menjadi salah list pertama moda transportasi yang saya pilih : alasan lingkungan dan alasan teknis perjalanan. Dalam perspektif lingkungan, naik kereta api lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan naik pesawat. Emisi karbon kereta api lebih rendah dibandingkan dengan emisi karbon pesawat. Carbon foot print kereta api lebih rendah dibandingkan carbon foot print pesawat. Argumen ini valid di United Kingdom[1]. Namun demikian, in my opinion, dalam konteks Indonesia, tidak jauh berbeda.

Gambar 1. Karbon Footprint Perjalanan Menurut Kendaraan per Kilometer Tahun 2018

Sumber : https://ourworldindata.org/travel-carbon-footprint

Alasan kedua adalah naik kereta lebih nyaman. Kenyamanan antara lain terwujud dalam ketersediaan waktu untuk menikmati perjalanan sembari tetap produktif. Hampir semua stasiun kereta di kota tujuan berada tidak jauh dari jantung kota. Berbeda dengan bandara yang hampir semua bandara baru di kota-kota besar di Indonesia berada di luar kota. Mari kita hitung total perjalanan Jakarta-Jogja baik menggunakan kereta api maupun pesawat. Asumsi perjalanan : Minggu pagi, 21 Mei 2023, menggunakan kereta Taksaka.

Travel Time dengan Pesawat

Rumah (Kaliabata) – Bandara Soetta : 1 jam

Persiapan Boarding  : 1-1,5 jam

Perjalanan Udara : 1 jam

Turun Pesawat – Naik Kendaraan berikutnya (Taksi/Jemputan) : 1 jamm(bervariasi tergantung ada bagasi atau tidak)

Perjalanan Bandara NYIA (Kulonprogo) – Tujuan (Royal Ambarukmo)  : 1,5 jam

Total perjalanan : 5.5 – 6 Jam

Travel time kereta

Rumah – Stasiun Gambir : 30 menit

Persiapan Boarding : 15 menit

Perjalanan kereta : 6 jam 29 menit

Stasiun – Tujuan akhir : 30 menit

Total : 7 Jam 44 Menit

Secara waktu perjalanan kereta lebih lama 1 jam 45 menit – 2 jam 15 menit dibandingkan dengan pesawat. Lebih lama iya, tapi ada beberapa alasan pribadi bagi lebih menguntungkan menggunakan kereta yakni : polusi suara kereta lebih kecil dibandingkan pesawat, guncangan di kereta lebih kecil dibandingkan pesawat (take off/landing/turbulensi), waktu “diam” di kereta lebih banyak dibandingkan pesawat. Pada perjalanan pesawat dengan durasi 1 jam, tersisa paling tidak 30 menit untuk bisa berada pada stable flight (jika tanpa turbulensi). Waktu “diam” ini bisa digunakan untuk kegiatan produktif seperti membaca buku atau menulis. Membaca buku di kereta  dengan 30 halaman per jam (intensif reading), maka akan didapat 180 halaman buku. Pun dengan menulis, 6 jam bisa digunakan untuk menulis artikel opini yang bisa dikirim ke media massa. Selain itu, membaca jurnal bisa menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak.

Selain polusi dan guncangan, naik kereta lebih murah. Ongkos kereta Rp560 ribu -Taksaka-, sedangkan pesawat almost 1 juta, kadang lebih 1 juta jika pesannya mepet waktu berangkat.

Apa pilihan moda transportasi kawan-kawan jika bepergian ke luar kota ?

Tulisan berikutnya adalah kegiatan selama acara GFF dan lesson learn yang bisa dipetik, in syaa Alloh.


[1] Which form of transport has the smallest carbon footprint? – Our World in Data