Siapa pun presiden yang terpilih, dia harus membawa arah perjalanan ekonomi Indonesia ke jalur pencapaian Indonesia Emas 2045. Hal ini penting agar jebakan kelas menengah tidak terjadi di Indonesia yang berujung pada kegagalan menjadi negara maju. Karena bagaimanapun juga, presiden terpilih 2024 memiliki peluang untuk terpilih kembali di 2029 yang berarti memiliki masa jabatan 2 periode alias 10 tahun. Satu dekade tersebut adalah setengah perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 dan merupakan titik penentu.

Syarat utama menuju Indonesia Emas 2045 adalah pertumbuhan ekonomi setidaknya 7 persen. Hal ini bertujuan untuk bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang memasuki usia produktif. Jika para pencari kerja ini tidak terserap ke dalam lapangan kerja maka pengangguran akan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Pengangguran berujung pada kemiskinan.

Pertumbuhan

Merujuk pada teori pertumbuhan ekonomi neoklasik, pencapaian pertumbuhan ekonomi setidaknya dipengaruhi oleh kapital dan tenaga kerja. Pada teori pertumbuhan lain, faktor endogen juga menjadi kunci.  Teori pertumbuhan tersebut setidaknya terbukti di negara-negara yang saat ini sudah masuk kategori negara maju atau sedang dalam proses menuju negara maju.

Salah satu contoh sukses negara maju dengan menyiapkan sumber daya manusia dan sumber daya modal dalam mencapai negara maju adalah Jepang. Pada awal era restorasi Meiji di penghujung 1800, Kekaisaran Jepang mengirim banyak anak-anak mudanya ke Eropa, terutama Jerman untuk belajar baik bidang ilmu sosial maupun teknik.

Keberadaan sumber daya manusia yang handal di Jepang tidak dibarengi dengan keberadaan sumber daya alam yang mencukupi. Guna menjaga pertumbuhan secara konsisten menuju negara maju diperlukan “bahan bakar” berupa minyak bumi dan gas untuk menjaga agar pabrik-pabrik di Jepang tetap beroperasi. Ujungnya, ekspansi wilayah ke luar Jepang menjadi pilihan yang diambil sejalan dengan berlangsungnya perang dunia pertama dan kedua.

Berbeda dengan Indonesia, sumber daya alam melimpah namun ketersediaan sumber daya manusia belum optimal dalam mengolahnya. Kondisi ini harus masuk dalam radar masalah yang ditangkap oleh capres 2024 yang dibarengi dengan solusinya. Namun demikian, pada visi masing-masing paslon, hal tersebut baru sebatas tataran ide besar dan belum tertuang dalam penjelasan detail dan terukur. Pendetailan visi ini harus dikawal publik ketika presiden terpilih menetapkan RPJMN 2025-2029.

Terkait dengan pertumbuhan, calon presiden dengan nomor urut tiga mematok target ekonomi yang ambisius dibandingkan dengan calon presiden lainnya. Hal ini terlihat dari target pertumbuhan ekonomi yang dipatok yakni rata-rata 7 persen. Sedangkan pasangan nomor urut 1 menargetkan pertumbuhan ekonomi 2025-2029 berada pada kisaran angka 5,5 – 6,5 persen. Target ini menurut boleh dikatakan sangat merefer tidak jauh pada histori pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir yang berada pada rerata angka 5 persenan.  Kemudian target pertumbuhan ekonomi paslon nomor dua berada pada rentang 6-7 persen. Target ini berada diantara paslon 1 dan paslon 3.

Perbedaan target pertumbuhan ekonomi tersebut di atas mensyaratkan usaha yang berbeda dan konsekuensi yang berbeda pula. Secara eksplisit, konsekuensi dari target masing-masing paslon sudah tertera dalam visi masing-masing. Paslon Anies-Muhaimin menyebut akan membuka lapangan kerja bagi 15 juta orang. Sedangkan paslon Ganjar-Mahfud menyebut akan menciptakan 17 juta lapangan kerja. Sedangkan Prabowo-Gibran tidak menyebutkan secara eksplisit berapa angka lapangan kerja yang akan dibuka.

Tabel 1. Perbandingan Visi Capres-Cawapres 2024

KeteranganAnies Baswedan dan Muhaimin IskandarPrabowo Subianto dan Gibran Rakabuming RGanjar Pranowo dan Mahfud MD
VisiIndonesia Adil Makmur untuk SemuaBersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045Menuju Indonesia Unggul Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari
Pertumbuhan Ekonomi (%)5,5 – 6,56 – 77 (rata-rata)
Lapangan Kerja 15 juta lapangan kerjaMendorong kewirausahaan untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas17 juta lapangan kerja
Sumber :  Dokumen Visi-misi Capres-Cawapres 2024

Melihat dari perspektif elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan lapangan kerja, maka paslon nomor tiga memiliki target eksplisit yang lebih baik dibandingkan dengan paslon lain. Pasalnya target satu persen pertumbuhan ekonomi paslon tiga bisa menciptakan 485.7 ribu pekerjaan setiap tahun. Sedangkan paslon nomor 1, satu persen pertumbuhan ekonomi akan bisa menciptkana lapangan kerja antara 461,5 ribu – 545,4 ribu orang per tahun. Jika diambil nilai tengah maka rata-rata per tahun akan menyerap 503,4 ribu orang per tahun.

Target penciptaan lapangan kerja paslon dengan nomor urut dua multitafsir karena tidak secara eksplisit memunculkan angka. Meskipun demikian, apabila ditelisik lebih lanjut, narasi mendorong kewirausahaan untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas, menitikberatkan kepada perwujudan usahawan-usahawan baru. Hal ini berbeda dengan paslon urut 1 dan 3 yang berorientasi kepada investor matang yang siap berinvestasi bangun pabrik-pabrik baru di Indonesia. Menciptakan lapangan kerja bagi 400 an ribu orang dalam setahun, jalan pintas yang bisa diambil adalah mengundang investor, baik domestik maupun luar negeri untuk ekspansi produksi mereka.

Di sisi lain, perwujudan usahawan-usahawan baru lebih sulit dibandingkan hanya dengan menciptakan lapangan kerja bagi pegawai atau buruh. Hal ini disebabkan dalam mencetak usahawan baru dan lapangan kerja dibutuhkan dua proses terpisah mewujudkan kewirausahaan untuk kemudian membuka peluang kerja baru. Wirausahawan yang memula bisnis mereka dipastikan membutuhkan karyawan.

Meski demikian, melihat target angka pertumbuhan ekonomi  6- 7 persen, maka jumlah penciptaan lapangan kerja yang bisa diciptakan berkisar 12 juta hingga 14 juta dalam 5 tahun. Angka ini dengan asumsi 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 400 ribu lapangan usaha baru.

Ada target ada syarat. Merefer pada teori pertumbuhan ekonomi, maka kapital menjadi salah satu fungsi pertumbuhan yang harus diperhatikan. Dalam ranah kebijakan makroekonomi, kapitan ini bisa diterjemahkan kepada investasi yang dibutuhkan untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi tertentu. Secara teknis, disebut ICOR atau incremental capital output ratio.

Semakin tinggi nilai ICOR maka semakin tidak efisien investasi di sebuah perekonomian dan sebaliknya. Perkembangan ICOR Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara satu kawasan semisal Malaysia, Thailand dan Vietnam. Meski demikian, pada tahun 2016 hingga 2022, ICOR Indonesia mengalami perbaikan dengan tren berfluktuasi. ICOR Indonesia 2016 berada pada angka 6,73. Sedangkan pada 2022 membaik menjadi 6,2 atau turun 0,5. Pada rentang tersebut terdapat satu tahun dimana ICOR Indonesia berada pada level paling rendah yakni pada tahun 2018 dengan ICOR 6,72.

Angka ICOR Indonesia pada rentang waktu 7 tahun tersebut, lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara kawasan seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Pada tahun 2019, nilai ICOR masing-masing negara Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam adalah 5,4, 4,1, 4,4 dan 3,7. Sedangkan Indonesia pada tahun yang sama memiliki nilai ICOR sebesar 6,88, jauh dari keempat negara tersebut.

Gambar 1. Perkembangan ICOR Indonesia 2016-2022

Sumber : Badan Pusat Statistik

Semakin kecil ICOR, maka perekonomian akan semakin efisien. Dalam bahasa lain, dengan target pertumbuhan ekonomi yang sama, maka kebutuhan investasi yang dibutuhkan semakin kecil.  Gambar 2 menunjukkan dua skenario mengenai kebutuhan total investasi Indonesia (Pembentukan Modal Tetap Bruto). Skenario pertama adalah ICOR konstan dari tahun 2022-2029 dengan besaran 6,2 (merujuk pada tahun 2022). Kemudian skenario kedua adalah ICOR turun bertahap dari tahun ke tahun. Pada 2023, ICOR diasumsikan berada pada level 6,2. Memasuki 2024, ICOR turun sebesar 0,2 menjadi 6. Memasuki 2025, ICOR ditargetkan turun 0,2 menjadi 5,8. Pada tahun-tahun berikutnya, hingga 2029, ICOR turun 0,2 poin setiap tahunnya. Hingga tahun 2029, maka nilai ICOR ditargetkan 5,2.

Tabel 2. Asumsi Variabel 2023 – 2024

Keterangan20222023*2024*
PDB (target tumbuh 6%, dalam Miliar Rp)11,710,397   12,366,179    13,046,319
Delta PDB (Miliar Rp)           655,782          680,140
ICOR                   6.2                   6.2                  6.2
Investasi     3,686,573       4,065,850       4,216,867
Delta Investasi (Miliar Rp)           379,277          151,017
Pertumbuhan Ekonomi (%)5,65,5
*target
Sumber  :BPS, 2024 dan Kementerian Keuangan, 2024

Target penurunan ICOR tersebut di atas disandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi 6 persen tiap tahunnya dari 2025 hingga 2029. Angka 6 persen ini diambil sebagai angka tengah di antara target para calon presiden. Kemudian, tahun 2023. Sebelum menghitung angka 2025, maka ada angka target 2023 dan 2024. Nilai PDB 2022 adalah 11,7 ribu triliun rupiah (harga konstan), nilai PMTB sebesar 3,6 ribu triliun dan angka ICOR 6,2.

Tahun 2023, pertumbuhan ekonomi ditarget 5,6 persen (angka tengah dari target 5,3 – 5,9 APBN 2023). Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi ditarget 5,5 (rata-rata dari rentang target pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 5,3 – 5,7 persen yang tercantum dalam APBN 2024). Dengan asumsi 6,2 maka diperolah nilai PMTB untuk tahun 2023 dan 2024 masing-masing sebesar Rp4,06 ribu triliun dan 4,2 ribu triliun rupiah. Setelah didapat angka 2024 maka perhitungan 2025 dan seterusnya bisa dilakukan.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa semakin rendah ICOR, maka kebutuhan investasi untuk mencapai angka pertumbuhan 6 persen setiap tahunnya semakin rendah. Pada tahun 2025, dengan ICOR 6, kebutuhan investasi yang dibutuhkan sebesar 4.697 triliun rupiah. Di sisi lain, apabila ICOR bertahan pada angka 6,2, kebutuhan investasi diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen 157 triliun rupiah lebih banyak atau Rp4.853 triliun.

Pada tahun 2029, dengan ICOR 5,2 dan target pertumbuhan ekonomi 6 persen maka kebutuhan investasi yang harus disiapkan sebesar Rp5.139 triliun. Sebaliknya, jika ICOR tetap  berada pada angka 6,2 maka kebutuhan investasi untuk mencapai angka pertumbuhan 6 persen adalah 988 triliun rupiah lebih banyak atau sebesar Rp6.127 triliun.

Share Investasi Terhadap PDB

Sumber : BPS dan Kemenkeu, diolah

Kebutuhan Investasi / PMTB (Rp Triliun)

Sumber : BPS dan Kemenkeu, diolah

Investasi

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana membiayai investasi tersebut? Jawabannya dua : dari kocek pemerintah melalu belanja modal dan swasta. Pemerintah sejatinya bisa meningkatkan pendapatan sekaligus mengefisiensikan belanjanya. Meningkatkan pendapatan melalui peningkatan tax rasio. Efisiensi pengeluaran melalui pemberantasan korupsi dan perencanaan program yang baik.

Potensi pajak Indonesia besar. Apabila melihat angka tax ratio yang masih ada di kisaran angka 10,1 terhadap PDB (OECD)[1]. Masih berdasar sumber yang sama, Thailand pada tahun 2021 memiliki tax rasio sebesar 16,4. Apabila Indonesia bisa meningkatkan angka rasio pajaknya 4 persen saja, maka akan menghasilkan tambahan angka penerimaan pajak Indonesia sebesar 468,4 triliun rupiah. Angka ini adalah perkalian antara tambahan tax rasio sebesar 4 persen dikali dengan PDB Indonesia 2022 11.710,3 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan)

Angka tambahan penerimaan pajak sebesar 400 triliun-an rupiah di atus setara dengan 60 persen anggaran pendidikan APBN 2024 yang sebesar 655 triliun rupiah atau setara dengan 76 persen dari pembiayaan defisit APBN 2024. Selain itu, ada  potensi tambahan yang bisa didapat dari efisiensi anggaran.

Selanjutnya, apabila merujuk pada Begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo, kebocoran APBN di Indonesia mencapai 30 persen, maka ada potensi tambahan sebesar 997,5 triliun. Angka ini didapat dari angka 30 persen APBN 2024 sebesar Rp3.325 triliun. Apabila ditotal, maka ada potensi tambahan pendapatan negara 1.397 triliun rupiah.

Angka tambahan tersebut di atas adalah angka hitung-hitungan di atas kertas yang perlu ditindaklanjuti dengan implementasi yang baik. Pertama yang harus dilakukan adalah pemberantasan korupsi dan kemudian perwujudan kemudahan berbisnis. Pemberantasan korupsi akan sekaligus bisa mengefisienkan belanja pemerintah dengan memitigasi kebocoran anggaran yang ada. Kemudian, perwujudan iklim usaha yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah potensi penerimaan pajak nasional.

Siapapun presiden yang terpilih, dua agenda di atas wajib masuk agenda prioritas.

*Artikel ini dimuat di Kolom Riset Majalah Stabilitas, edisi 201


[1] Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2023 ─ Indonesia (OECD)