Volatilitas USD di negara-negara luar Amerika Serikat banyak dipengaruhi banyak hal. Satu yang paling kentara dan bisa diamini semua ekonom adalah naik turunnya the Fed
Konflik Rusia-Ukraina menguatkan wacana dedolarisasi. Wacana ini tidak hanya menguat di level bilateral negara tapi juga multilateral. Pada level bilateral Rusia sepakat untuk menggunakan Renmibi dalam transaksi perdagangan kedua negara.
Pada level multilateral, muncul wacana negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan South Africa) untuk membuat mata uang baru. Dominasi dolar terancam. Bagi Indonesia sendiri, dedolarisasi bukan lagi wacana dan hal baru. Ini sudah dilakukan melalui skema Local Currency Setlement (LCS) dan diversifikasi mata uang surat utang negara.
Dedolarisasi secara umum diartikan sebagai usaha untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) atau United State Dollar (USD) dalam transaksi keuangan internasional, seperti ekspor impor dan penerbitan surat utang. Proses dedolarisasi bisa berbentuk dalam beragam laku kebijakan atau laku ekonomi, yakni penggunaan mata uang alternatif selain USD, membentuk sistem pembayaran baru serta membangun institusi keuangan baru di luar Amerika Serikat.
Bretton Woods
Sebagai negara pemenang perang dunia II, secara ekonomi politik, Amerika Serikat memiliki kepentingan agar sistem ekonomi dunia pasca perang dunia II stabil. Kepentingan ini belakangan berujung pada Bretton Woods System pada 1944 yang menasbihkan dolar AS sebagai mata uang yang dijadikan standar perdagangan internasional. Sejalan dengan itu muncullah IMF, Bank Dunia dan GATT.
Bretton Woods berujung pada sistem moneter yang mendasarkan pada sistem nilai tukar tetap terhadap dolar AS dengan underlying emas. Nilai 1 troy ounce emas (sekira 31,1 gram) ditetapkan harganya sebesar 35 dolar Amerika Serikat. Belakangan, sistem Bretton Woods ambruk pada 1971, tepatnya pada 15 Agustus dimana Presiden Nixon memutuskan untuk tidak mengaitkan nilai dolar AS dengan emas. Artinya, AS tidak lagi berkewajiban untuk menukar dolar AS yang dimiliki negara lain dengan emas.
Meski Bretton Woods berakhir, kuasa USD terhadap perekonomian dunia tetap bertaji hingga sekarang dengan segala dramanya, salah satunya adalah volatilitas nilai USD.
Volatilitas Dolar
Volatilitas USD di negara-negara luar Amerika Serikat banyak dipengaruhi banyak hal. Satu yang paling kentara dan bisa diamini semua ekonom adalah naik turunnya the Fed yang memengaruhi arus keluar masuknya dolar Amerika Serikat dari sebuah negara. Kondisi ini menjadikan pemegang dolar Amerika Serikat menghadapi risiko yang berujung pada cost. Namun demikian, kuasa dolar Amerika Serikat masih kuat yang menjadikan USD masih sebagai global reserve currency terbesar hingga hari ini.
Wacana dedolarisasi di dunia sudah terjadi jauh-jauh hari, termasuk di Indonesia. Namun, wacana tersebut semakin kencang pasca perang Rusia-Ukraina yang menjadikan Rusia mendapatkan beragam sanksi ekonomi dari barat. Kesendirian Rusia ini men trigger aliansi Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan (RICS) semakin kuat, terutama dalam hal kerja sama ekonomi. Satu topik yang mencuat terkait aliansi BRICS ini adalah wacana dedolarisasi dengan mengutamakan local currency BRICS atau membuat satu mata uang baru.
Pada kunjungan Xi Jinping ke Moskow pada Maret 2023 lalu, Vladimir Putin berjanji bahwa Rusia akan menggunakan renmibi dalam transaksi perdagangan antar kedua negara. Bisa jadi, hal ini akan menjadi trigger diberl,akukannya Renminbi dalam transaksi perdagangan antar negara BRICS. Meski demikian, banyak ekonom barat juga menyangsikan menyatakan bahwa dedolarisasi dalam rangka untuk mengurangi efek “toxic” dolar Amerika yang tidak akan terjadi (Prepare for a multipolar currency world | Financial Times (archive.is).
Lebih lanjut, dominasi dolar Amerika Serikat dalam komposisi global currency reserve semakin meredup. Selama satu dekade terakhir (2012-2022), persentase dolar Amerika Serikat dalam global reserve currency (GRC) sebesar 61,5 persen. Pada 2022, angkanya turun sebesar 3,1 persen menjadi 58,4 persen. Bahkan pada 1999, persentase USD mencapai 72 persen.
Selain dolar Amerika Serikat, dalam satu dekade terakhir EURO juga mengalami penurunan porsi dalam GRC sebesar 3,6 persen. Pada 2012, share Euro terhadap GRC mencapai 24,1 persen. Pada 2022, share-nya turun menjadi 20,5 persen. Sisa currency lain, yakni Yen Jepang, Poundsterling Inggris, Dolar Kanada, Dolar Australia (AUD), Renmibi Chian dan mata uang lainnya meningkat. Dalam satu dekade terakhir, share Yen Jepang terhadap GRC meningkat sebesar 1,4 persen.
Renmibi China menjadi reserve yang mengalahkan mata uang lain dalam hal komposisi. Selama 7 tahun sejak 2016 hingga 2022, kontribusi Renmibi China terhadap GRC meningkat 1,6 persen.
Pada tahun 2016, porsi Renmibi terhadap GRC adalah sebesar 1,1 persen. Angkanya meningkat 2,5 kalinya di tahun 2022 menjadi 2,7 persen. Capaian Renmibi China dalam hal peningkatan porsi GRC nya mengalahkan Jepang yang perlu 11 tahun untuk meningkatkan porsi Yen dalam GRC sebesar 1,4 persen.
Kerja Sama Bilateral
Pada konteks Indonesia, dedolarisasi diimplementasikan dalam kebijakan LCS (local currency settlement). Menurut Bank Indonesia, Local Currency Settlement (LCS) adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara di mana settlement transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing.
Latar belakang dilakukannya kerja sama LCS antara otoritas moneter Indonesia dan Otoritas Negara Mitra lain adalah tingginya dominasi dolar Amerika Serikat dalam pasar keuangan domestik. Kondisi tersebut berpotensi pada peningkatan kerentanan perekonomian Indonesia terhadap shock yang bersumber dari global.
Dedolarisasi juga terlihat dari komposisi utang pemerintah yang terdiversifikasi tidak hanya ke USD saja tapi juga ke dalam mata uang domestik, rupiah. Data dari Kementerian Keuangan menyebutkan persentase utang valas mengalami penurunan. Pada tahun 2011-2013, kisaran utang valas pemerintah berada pada level 44-46%. Angka tersebut turun hampir separonya menjadi 29% pada tahun 2022. Lebih lanjut, per Desember 2022, utang pemerintah dalam bentuk valas terdiri dari USD 20%, Euro 5%, Yen 4% dan di bawah 1 persen dalam mata uang lainnya. Sisanya, hampir 71% dalam bentuk rupiah.
Jadi apakah dedolarisasi merupakan sebuah langkah latah atau keharusan ? Kesimpulannya adalah sebuah keharusan dalam rangka menghindarkan perekonomian domestik dari shock global akibat volatilitas USD yang disebabkan faktor derivasi baik ekonomi ataupun politik dari Amerika Serikat. Namun demikian, dedolarisasi ini tidak juga latah mengikuti sebuah ritme dari the rising star blok baru, yakni BRICS.
Kepentingan ekonomi nasional harus diutamakan dalam mengeksekusi dedolarisasi ini. Kepentingan nasional bisa dilihat dari porsi dagang dan juga jenis komoditas apa (strategis atau biasa saja) yang diperdagangkan dengan sebuah negara atau blok ekonomi.
Tulisan pernah dimuat di Validnews, 21 Juni 2023.