Kenaikan suku bunga the FED rate yang di luar prediksi dan rencana yang digaungkan oleh the FED sendiri, menimbulkan kekhawatiran global. Volatilitas nilai tukar dollar terhadap mata uang negara lain, tumbangnya raksasa keuangan dunia, hingga wacana dedolarisasi yang dimotori oleh BRIC menjadi buntut baik langsung maupun tidak langsung instrumen the FED rate dalam menyelamatkan ekonomi Amerika Serikat dari bayang-bayang inflasi.
Pada awal 2022, the Fed mengemukakan bahwa bank sentral Amerika Serika tidak akan menaikkan suku bunganya terlalu cepat. Hal ini terekam dari pernyataan Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell pada 22 Juni 2021 silam. Dalam pernyataannya, Powell mengungkapkan bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga secara pre-emptive karena ketakutan akan kemungkinan terjadinya inflasi. The Fed angka inflasi aktual dalam memutuskan kenaikan the Fed rate.
Pernyataan tersebut membuat pasar agak tenang. Hal ini didasari pada proyeksi inflasi Amerika Serikat 2021 sebesar 3,4 persen. Namun, prediksi tersebut meleset jauh. Angka riil inflasi 2021 Amerika Serikat mencapai 4,7 persen. Pada 2022, angkanya naik hampir dua kali lipat menjadi 8 persen. Angka inflasi Amerika Serikat 2021 dan 2022, terutama 2022, benar-benar di luar prediksi banyak orang. Melesetnya prediksi ini salah satunya disebabkan konflik Rusia-Ukraina yang dimulai Februari 2022 hingga saat ini belum kelihatan ujung penyelesaian konflik dua negara tersebut.
Merespons inflasi yang sudah jauh dari target, mau tidak mau the Fed harus meningkatkan tingkat suku bunganya. Dalam waktu satu tahun, suku bunga the Fed naik 10 kali lipat dari 0.5 di Maret 2022 menjadi 5 persen di Maret 2023. Pada periode tersebut, sudah terjadi 9 kali kenaikan suku bunga the Fed rate dengan besaran kenaikan tertinggi terjadi pada Juni, Juli, September dan November 2022 dengan besaran kenaikan masing-masing 0.75 basis poin.
Gambar 1. Besaran Kenaikan The Fed Rate dan Level Suku Bunga The Fed Maret 2022- Maret 2023

The Fed
Kenaikan the FED rate yang di luar prediksi, dipicu oleh besaran inflasi yang menghantui Amerika Serikat pasca Covid-19. Seperti diketahui, target inflasi di Amerika Serikat yang ditarget oleh Bank Sentral sebesar 2 persen. Belum genap 4 bulan memasuki tahun 2021, angka ifnlasi sudah mencapai 2,62 persen di Maret 2021. Level inflasi terus meningkat hingga ke level tertinggi pada Juni 2022 dengan level tertinggi pasca Covid-19 sebesar 9,06 persen. Angka inflasi yang terus meninggi membuat the FED harus mengerek suku bunganya pada Maret 2022. Pada bulan yang sama, inflasi Amerika Serikat sudah mencapai 8,54 persen.
Gambar 2. Inflasi Bulanan Amerika Serikat 2021-2023

Sumber : rateinflation.com dan Bureau of Labor Statistics, US
Tingkat pengangguran yang menjadi salah satu pertimbangan otak atik the FED rate mengalami penurunan sepanjang 2021 yang kemudian dilanjutkan dengan kondisi yang melandai sepanjang 2022 hingga Maret 2023. Pada Januari 2021, level pengangguran di Amerika Serikat mencapai 6,3 persen. Angkanya terus menurun hingga 3,6 persen di Maret 2022. Pasca Maret 2022, angka pengangguran Amerika Serikat berada pada level 3,5-3,7 persen.
Melihat tren pengangguran yang terkendali, inflasi yang berada pada tren penurunan pasca mencapai angkat tertinggi di Juni 2022, maka the Fed rate dalam meredam inflasi bisa dikatakan sudah memperlihatkan tajinya. Namun demikian, kenaikan the Fed rate diperkirakan akan tetap dilakukan selagi level inflasi masih berada jauh di atas 2 persen, angka yang ditarget oleh Amerika Serikat. Komite Pasar Terbuka Federal akan kembali menggelar rapatnya pada Mei 2023. Berdasarkan data CME FedWatch Tool pada 27 April 2023, Federal Market Open Committee (FMOC) memiliki kemungkinan sekitar 87 persen untuk menaikkan suku bunga the Ffed sebesar 25 basis poin awal Mei 2023. Selain inflasi, salah satu pertimbangannya adalah pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sama yang lebih rendah dari perkiraan di kuartal pertama 2023 sehingga hal ini dipandang tidak akan menghalangi langkah the Fed dalam menaikkan suku bunga.
Dampak
Besaran kenaikan the Fed rate tersebut mengejutkan banyak pihak. Yang paling mengejutkan adalah runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB). Dimulai pada 10 Maret 2023, dalam 48 jam, Silicon Valley Bank (SVB) yang telah berdiri tegak selama puluhan tahun di negeri Paman Sam, ambruk. Ambruknya SVB tersebut tepat satu tahun setelah the Fed mulai menaikkan tingkat suku bunganya. Pasar keuangan dunia panik. Para pelaku pasar keuangan global dag dig dug akan efek domino yang menjalar. Hingga tulisan ini dibuat, sudah ada 1 bank yang kolaps akibat rentetan runtuhnya SVB yakni Credit Suisse. Meski demikian ada antrian bank yang diperkirakan terkena efek berantai runtuhnya SVB yakni Deutch Bank dan Signature Bank.
Kenaikan suku bunga the Fed yang agresif menjadi penyebab kejatuhan SVB. Akibatnya, biaya pinjaman perusahaan-perusahaan start-up semakin mahal. Pada saat bersamaan, start-up berada pada posisi melambat yang berujung pada dampak terhadap SVB.
Sebelum mengalami kebangkrutan, SVB mengumumkan rencana penggalangan dana US$1,75 miliar pada 9 Maret 2023 akibat kekurangan permodalan. Hal ini langsung membuat para investor panik dan menyeret saham SVB anjlok hingga 60%. Kepanikan merembet ke para nasabah SVB yang melakukan penarikan dana besar-besaran. Fenomena ambruknya SVB pada Maret silam menjadi kegagalan bank terbesar di AS sejak krisis 2008 sehingga memunculkan kekhawatiran terulangnya kejadian yang sama.
Dedolarisasi ?
Runtuhnya SVB dan Credit Suisse tidak memberikan dampak langsung terhadap industri keuangan dan perbankan nasional. Klaim ini dilontarkan oleh OJK. Alasan utamanya adalah karena perbankan RI tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk-produk sekuritisasi SVB. Selain itu, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan teknologi startups maupun kripto. Selain itu, kondisi perbankan RI juga dinilai memiliki kondisi yang kuat dan stabil, hal ini tercermin dari kinerja industri perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global.
Namun demikian, otoritas harus tetap mengawasi kinerja perbankan nasional agar sektor perbankan tetap dalam kondisi siaga. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam masa-masa seperti ini adalah optimalisasi fungsi maupun peran asset & liability committee dalam melakukan pengelolaan aset dan kewajiban, melakukan stress test yang komprehensif, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, dan mengupdate recovery dan resolution plan secara berkala.
Kasus SVB yang bersamaan dengan kenaikan tingkat suku bunga the Fed yang di luar rencana, menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasar keuangan global. Hal ini berujung pada instabilitas dolar Amerika Serikat. Pada saat bersamaan, kecamuk perang Rusia-Ukraina yang belum terlihat juntrung akhirnya, semakin menambah ketidakpastian tersebut. Bagi Indonesia, instabilitas US dolar tidak menguntungkan bagi perekonomian. Meski para eksportir atau importir sudah melakukan kontrak pembelian atau penjualan jangka panjang atau masa depan dengan nilai kurs yang sudah disepakati, volatilitas dolar yang melampaui ekspektasi tetap saja tidak mengenakan.
Sejak 2021 hingga Maret 2023, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap USD semakin meninggi. Hal ini terlihat dalam gambar 3 berikut. Dengan menggunakan standar deviasi, pasca kenaikan tingkat suku bunga the Fed pada Maret 2023, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap USD meningkat. Jika selama periode Januari 2021 – Maret 2022 standar deviasi tertinggi nilai tukar rupiah terhadap USD adalah 95,22, maka pasca Maret 2022 standar deviasinya mencapai 278,15. Angka ini terjadi pada Januari 2023.
Gambar 3. Standar Deviasi Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Januari 2021-Maret 2023

Sumber : Bank Indonesia
Instabilitas USD tidak hanya terjadi dalam perekonomian domestik, tapi juga menjadi momok buruk bagi perekonomian global. Kondisi ini menjadikan adanya aksi dedolarisasi dalam rangka mengurangi ketergantungan mata uang terhadap US Dollar. Meski dedolarisasi sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara secara bilateral dalam kerangka local currency settlement (LCS), gerakan untuk membentuk sebuah mata uang baru oleh negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China dan Afrika Selatan) menjadi gerakan dedolarisasi yang tidak saja bermotif ekonomi, tapi juga bermotif politik. Tambahan motif politik tersebut bisa menjadikan dedolarisasi bisa menjadi tambahan kekuatan dalam mengurangi ketergantungan terhadap dollar Amerika Serikat.
Lebih lanjut, dedolarisasi semakin memiliki kekuatan baik ekonomi maupun politik ketika Yuan China sudah bisa mengalahkan US Dollar dalam transaksi cross-border China dengan pihak luar. Pada Maret 2023, untuk pertama kalinya dalam sejarah ekonomi China, Yuan berada pada puncak tertinggi mengalahkan dominasi US Dollar dalam transaksi cross border. Data dari Bloomberg Intelligence menyebutkan share mata uang Yuan dalam transaksi tersebut mencapai 48%. Pada tahun 2010, share Yuan relatif mendekati nol persen. Pada periode yang sama, share US Dollar turun dari 83% menjadi 47%.
Gambar 4. Share US Dollar dan Yuan China dalam Transaksi Cross-Border China 2010-Maret 2023

Sumber : Bloomberg
Naiknya share Yuan dalam transaksi cross-border tersebut salah satunya diakibatkan oleh naiknya capital account China melalui China bonds dan adanya outflow untuk stok market di Hongkong. Meskipun demikian, dominasi Yuan yang berhasil mengalahkan US Dollar dalam transaksi cross-border di China tetap bisa menjadi trigger bagi dedolarisasi yang saat ini dimotori oleh BRICS.
Bagi Indonesia, mengurangi ketergantungan terhadap US Dollar sangatlah penting mengingat volatilitas US Dollar yang tinggi di tengah kebijakan suku bunga The Fed dalam meredam inflasi. Perluasan LCS menjadi kebijakan yang bisa diambil sebelum melangkah lebih jauh untuk bergabung dengan BRICS. Lebih lanjut, pemantauan ketahanan industri keuangan dan perbankan dalam negeri juga tetap harus diupayakan agar Indonesia tetap bisa berselancar dengan baik di atas gelombang ekonomi dunia yang tidak menentu.
Artikel dimuat di Kolom Riset Majalah Stabilitas , edisi 195, 2023.