Satu hal penting yang perlu dicatat di sektor pertanian pada 2018 adalah koreksi data luas lahan pertanian sawah oleh Badan Pusat Statistik. Koreksi data luas lahan sawah dengan menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) didapuk memiliki akurasi yang lebih dibandingkan dengan metode eye estimation (estimasi pandangan mata) yang sejak lama digunakan. Koreksi data luas lahan pertanian ini berimplikasi pada banyak hal mulai dari anggaran, perencanaan produksi, dan program ketahanan pangan nasional.

Menggunakan metode kerangka sampel area (KSA), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat potensi luas panen sawah pada 2018 sebesar 10,9 juta ha. Sementara itu, angka proyeksi dari Kementerian Pertanian seluas 15,5 juta ha. Perbedaan data luas lahan ini berdampak pada produksi gabah nasional. Kementerian Pertanian (Kemtan) mengestimasi bahwa, produksi gabah kering giling (GKG) pada tahun 2018 mencapai sekitar 80 juta ton. 

Berdasarkan luas lahan 10,9 juta ha, maka proyeksi produksi gabah kering giling pada tahun 2018 hanya sebanyak 56,54 juta ton.  Dengan perhitungan tersebut, terjadi selisih produksi gabah sebesar 23,46 juta ton. Dengan kata lain, pada 2018 Indonesia hanya surplus beras 2,85 juta ton. 

Koreksi data tersebut berimplikasi pada anggaran. Artinya, anggaran yang diajukan oleh Kementerian Pertanian dalam upaya menghasilkan gabah 80 juta ton perlu diverifikasi lebih lanjut. Apabila didasari pada perhitungan BPS, maka ada kelebihan anggaran. Implikasi berikutnya adalah perencanaan produksi. 

Koreksi data produksi gabah 2018 menjadi dasar agar kebijakan perencanaan produksi beras 2019 harus berubah. Dengan estimasi surplus 2,85 juta ton pada 2018, bisa dipastikan surplus tersebut sangat riskan untuk diandalkan tanpa mengimpor beras. Surplus 2,85 juta ton adalah perkiraan dengan asumsi pada Oktober-November 2018 terdapat produksi beras masing-masing 1,5 juta ton. Padahal pada bulan-bulan tersebut, panen merupakan hal yang sulit mengingat sebagian besar wilayah Indonesia sedang memasuki musim penghujan.

Implikasi berikutnya adalah program ketahanan pangan nasional. Mendasari surplus 2,85 juta ton yang sama dengan kebutuhan beras satu bulan masyarakat Indonesia, menjadikan program ketahanan pangan rapuh.  Hal ini didasari pada program ketahanan pangan yang selama ini masih mendasari pada kebutuhan kalori yang didasari pada konsumsi beras. 

PR 2019

Membenahi sektor pertanian butuh waktu tidak singkat. Waktu satu tahun tidaklah ideal untuk mewujudkan sektor pertanian Indonesia ideal. Meskipun demikian, pada 2019, setidaknya kebijakan sektor pertanian (beras) akan menjadi lebih terarah mengingat dirilisnya data terbaru luas lahan dan produksi beras. 

Terdapat pekerjaan rumah utama pemerintah di tahun 2019 yakni efisiensi anggaran pertanian, terutama pupuk. Anggaran subsidi pupuk yang mencapai Rp30 triliun lebih pada 2017, yang kemudian berkurang menjadi Rp28 triliun pada 2018 perlu diefisienkan lebih lanjut pada 2019. 
Pekerjaan rumah berikutnya adalah memastikan luas lahan pertanian yang ada sekarang dijaga keberlanjutannya. Mengawal lahan abadi sawah adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar. Selain itu, program cetak sawah harus terus dilanjutkan dengan menggandeng entitas yang sudah ada, yakni TNI.  

Tantangan berikutnya adalah melakukan intensifikasi produksi beras agar melebihi capaian pada 2018. Hal ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan impor beras Indonesia dari luar negeri. Terakhir bersifat jangka panjang adalah mengubah pola konsumsi masyarakat dari komoditas beras menjadi komoditas non beras. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membantu program diversifikasi pangan yang berujung pada pengurangan ketergantungan sumber karbohidrat beras.

Tulisan pernah dimuat di watyutink