Kebijakan uang muka 0 persen dan pembiayaan bagi pengembang dinilai akan mendorong sektor properti dan juga perekonomian. namun, demikian jika tidak diiringi oleh relaksasi lain di bidang fiskal, bisa jadi hasilnya akan berbeda

              Di tengah gelombang tekanan eksternal yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah 5,72% per 28 Juni 2018 (ytd) sejak awal tahun 2018, Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 28-29 Juni 2018 merilis serangkaian kebijakan yang cukup mengejutkan. BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan  (BI 7-day Reverse Repo Rate) sebesar 50 bps menjadi 5,25%. Kenaikan suku bunga acuan tersebut melanjutkan dua kali kenaikan sebelumnya sehingga total BI telah mengerek naik suku bunga acuan sebesar 100bps atau 1% dalam tempo dua bulan. Keputusan menaikkan suku bunga acuan ini diambil Otoritas Moneter sebagai upaya menahan derasnya arus modal keluar dari Indonesia sehingga memicu pelemahan rupiah.

Menyadari konsekuensi kenaikan suku bunga acuan yang dapat menyulut peningkatan suku bunga kredit dan berpotensi menahan laju pertumbuhan kredit, Dewan Gubernur BI mengeluarkan terobosan kebijakan makroprudensial berupa relaksasi aturan Loan to Value (LTV) untuk kredit properti (KP) dan Financing to Value (FTV) untuk pembiayaan properti (PP). Kebijakan relaksasi yang berlaku efektif per 1 Agustus 2018 ini bertujuan sebagai stimulus untuk mendorong pertumbuhan kredit khususnya kredit properti. Stimulasi pada sektor properti cukup penting karena sektor ini dapat berperan sebagai lokomotif pertumbuhan yang mampu menarik 174 sektor terkait lainnya sehingga diharapkan target pertumbuhan kredit double digit pada tahun ini bisa tercapai.

              Lebih luas lagi, kebijakan LTV atau yang lebih populer dikenal masyarakat sebagai kebijakan uang muka kredit rumah akan membantu mengurangi backlog perumahan yang saat ini mencapai 11,4 juta unit. Salah satu tantangan pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat di Indonesia adalah relatif rendahnya peranan kredit perumahan terhadap PDB. Sebagai komparasi, pada tahun 2017 rasio kredit perumahan terhadap PDB di Indonesia sebesar 2,90%, jauh lebih kecil dibandingkan negara lainnya seperti Singapura (44,80%), Malaysia (38,40%), dan Thailand (22,30%). Selain itu, rasio KPR terhadap total kredit di Indonesia juga masih stagnan dikisaran level 8% selama periode 2008-2015 (REI, 2018).

Historis LTV dan Kinerja Properti 

              Secara historis, instrumen LTV yang pada awalnya diperkenalkan tahun 2012 sebetulnya dikeluarkan sebagai respon Otoritas Moneter untuk mengerem laju pertumbuhan KPR yang terlalu kencang sehingga dikhawatirkan berpotensi menyimpan risiko bubble seperti peristiwa krisis kredit perumahan (mortgage crisis) di Amerika Serikat pada periode 2007-2010. Saat kebijakan pengetatan LTV pertama kali efektif pada Juni 2012, rata-rata pertumbuhan KPR pada tiga bulan sebelumnya mencapai 36,5%. Paska pengetatan LTV tersebut berlaku, rata-rata pertumbuhan KPR pada tiga bulan setelahnya ikut menurun menjadi 31,9%. Bahkan dalam rentang yang lebih jauh lagi, rata-rata pertumbuhan KPR pada sembilan bulan setelahnya turun menjadi 25,1%.

              Selanjutnya pada Agustus 2013, BI melanjutkan pengetatan LTV sehingga pertumbuhan KPR yang pada tiga bulan sebelumnya rata-rata mencapai 28,1% berangsur menurun menjadi 15% hingga akhir 2014. Fakta historis ini membuktikan bahwa kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan BI saat itu cukup ampuh meredam pertumbuhan KPR di tengah siklus ekonomi yang sedang meningkat.

              Namun kondisi yang berbeda justru terjadi ketika BI mencoba melonggarkan aturan LTV pada Juni 2015 dan September 2016. Untuk mengantisipasi pertumbuhan KPR yang mengalami tren penurunan sejak awal 2015, BI akhirnya menerbitkan relaksasi LTV pada Juni 2015. Rata-rata pertumbuhan KPR pada periode Maret-Mei 2015 sebesar 6,1%. Setelah relaksasi LTV berlaku pada Juni 2015, rata-rata pertumbuhan KPR pada tiga bulan berikutnya sedikit naik menjadi 7,3%.

              Melihat pertumbuhan KPR tidak kunjung naik signifikan, BI kembali melonggarkan aturan LTV pada September 2016. Hasilnya saat itu juga tidak terlalu signifikan, dari rata-rata pertumbuhan KPR 6,9% pada tiga bulan sebelum LTV September 2016 berlaku, pada tiga bulan berikutnya justru pertumbuhan KPR melambat menjadi 6,7%. Data historis tersebut memberikan pelajaran bahwa disaat siklus ekonomi sedang menurun, tidak mudah bagi Otoritas Moneter untuk kembali mengangkat pertumbuhan KPR dan pertumbuhan kredit secara umum.

              Setelah hampir dua tahun berlalu, kali ini BI mengeluarkan jurus pamungkas relaksasi LTV dengan mengizinkan uang muka 0 persen bagi masyarakat yang baru pertama kali mengajukan kredit  properti baik untuk rumah tapak maupun rumah susun. Tidak hanya itu, kebijakan LTV yang akan berlaku pada 1 Agustus 2018 ini juga memberi angin segar bagi pihak pengembang (developer) berupa pembiayaan properti dengan mekanisme inden sampai KPR ke-5 berupa pencairan dana setelah akad kredit (30% dari plafon). Hal tersebut akan sangat membantu arus dana pengembang sehingga akan meningkatkan skala pembangunan proyek properti sekaligus mempercepat realisasi pembangunan rumah.

Gambar 1. Historis LTV dan Pertumbuhan KPR

Histori LTV

Sumber: Bank Indonesia, 2018

              Melalui pelonggaran aturan LTV kali ini, BI memproyeksikan pertumbuhan KPR naik dari 12,76% (yoy) pada Mei 2018 menjadi 13-14% hingga akhir tahun 2018. Kinerja KPR mengalami titik balik pada Mei 2017 ketia pertumbuhan KPR mampu melebihi pertumbuhan total kredit perbankan. Padahal sebelumnya sejak Mei 2015, pertumbuhan KPR selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit bank. Sementara itu, pertumbuhan kredit real estate yang mengalami tren penurunan mulai merangkak naik sejak awal tahun 2018. Momentum relaksasi LTV kali ini juga diharapkan dapat mengerek lebih tinggi lagi pertumbuhan kredit real estate.

Gambar 2. Tren Pertumbuhan KPR, Real Estate, dan Total Kredit

Tren pertumbuhan LTV

Sumber: BTN 2018

              Kinerja kredit properti bisa dikatakan mengalami pasang surut dalam periode tiga tahun ke belakang. Secara spesifik, kredit KPR untuk jenis rumah tapak mengalami tren kenaikan khususnya untuk tipe 22-70 dan tipe > 70. Pertumbuhan KPR rumah tapak tipe 22-70 mencatatkan pertumbuhan yang cukup pesat yaitu 21,15% (yoy) per Mei 2018. Sedangkan, pertumbuhan KPR rumah tapak tipe > 70 menorehkan pertumbuhan sebesar 7,63% (yoy) per Mei 2018. Sementara itu, pertumbuhan KPR rumah tapak tipe <21 masih mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar 5,33% (yoy) per Mei 2018.

              Di tengah tren pertumbuhan KPR rumah tapak tersebut, risiko kredit macet juga masih membayangi dengan tren peningkatan NPL. Rasio NPL pada kredit rumah tapak tipe >70 sebesar 3,33% (yoy) per Mei 2018 atau naik dari NPL Agustus 2016 (3,03%). Sedangkan rasio NPL pada kredit rumah tapak tiper 20-70 sedikit mengalami penurunan dari 2,69% (yoy) per Agustus 2016 menjadi 2,44% (yoy) per Mei 2018. Sementara rasio NPL pada kredit rumah tapak tipe <21 mengalami kenaikan dari 2,93% (yoy) per Agustus 2016 menjadi 3,06% (yoy) per Agustus 2018.

Gambar 3. Pertumbuhan KPR Tipe Rumah Tapak

  pertumbuhan KPR

pertumbuhan KPR1

Sumber: Bank Indonesia, 2018

Dampak Sektoral

Kebijakan LTV akan berdampak pada sektor properti berupa peningkatan pertumbuhan kredit KPR. Bank Indonesia menyatakan relaksasi kebijakan rasio kredit terhadap nilai atau loan to value (LTV) kredit properti yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2018 akan mendorong pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar 13,46 persen sampai 14 persen hingga akhir tahun ini.

Apabila mengambil angka maksimal pertumbuhan kredit tersebut, maka pada tahun 2018 ada pertambahan  kredit sebesar Rp55,02 triliun atau 14 persen dari total kredit KPR 2017 sebesar Rp423,09 triliun. Peningkatan pertumbuhan kredit ini sebagai akibat dari pertumbuhan permintaan terhadap perumahan. Pertumbuhan permintaan perumahan inilah yang akan dijadikan sebagai shock melalui perhitungan input-output.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan adanya permintaan kredit KPR, ada pertambahan output produk domestik bruto (PDB) sebesar kurang lebih Rp100,12 triliun atau 0,9% dari PDB Indonesia tahun 2017. Pertambahan output ini akibat adanya permintaan di sektor konstruksi dan jasa real estate masing-masing sebesar Rp45 triliun dan Rp10 triliun. Permintaan tersebut merupakan permintaan turunan pembelian properti.

Sektor konstruksi menjadi sektor yang menerima manfaat terbesar dari pelonggaran LTV. Output ekonomi sektor konstruksi bertambah sebesar Rp Rp46,7 triliun. Pada peringkat kedua dan ketiga, penerima manfaat terbesar dari adanya pelonggaran LTV adalah sektor industri pengolahan dan jasa real estate. Kedua sektor tersebut, outputnya bertambah masing-masing sebesar Rp21,95 triliun dan Rp10,15 triliun.

Permintaan perumahan berdampak langsung pada sektor konstruksi dengan menggeliatnya kegiatan pembangunan perumahan. Pembangunan perumahan atau properti akan memunculkan permintaan turunan selanjutnya di bidang jasa real estate semisal perencanaan perumahan dan pemasaran real estate.

Pada peringkat ketiga dan keempat terdapat sektor perdagangan -selain perdagangan mobil dan motor- serta sektor pertambangan dan penggalian yang menerima manfaat adanya pelonggaran LTV. Masing-masing sektor bertambah output nya sebesar Rp4,74 triliun dan Rp4,11 triliun.

Selain jasa real estate, pembangunan di sektor properti akan menimbulkan permintaan turunan pada sektor perdagangan dengan menggeliatnya perdagangan kebutuhan pembangunan perumahan. Sektor pertambangan dan penggalian menjadi sektor yang menerima manfaat melalui kegiatan penambangan pasir guna keperluan pembangunan perumahan.

Gambar 4. Dampak Pertumbuhan Kredit KPR Sebagai Akibat Pelonggaran LTV (Rp Triliun)

Dampak sektoral 

Sumber : Tabel Input-Output 2010, diolah Tim Riset Stabilitas

Mitigasi Risiko

 Pelonggaran LTV tidak akan berjalan efektif apabila tidak diiringi dengan insentif fiskal. Insentif fiskal bisa berwujud dalam keringanan pajak pembelian perumahan, serta keringanan dalam pengurusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Selain fiskal, ada beberapa hal yang perlu diusahakan oleh stakeholder terkait semisal pembentukan bank tanah khusus properti atau perumahan, mendorong Pemda dan Pemkot untuk menyediakan lahan bagi pembangunan perumahan bagi PNS di setiap masing-masing daerah/kota, serta kemudahan perizinan. Berbagai insentif non fiskal dan moneter tersebut di atas pada akhirnya bisa memotong biaya produksi satu unit rumah sehingga harga rumah bisa ditekan.

Hal lain yang perlu diperhatikan di tengah relaksasi LTV dan non LTV untuk perumahan yakni mitigasi kredit macet. Di tengah beragam kemudahan tersebut, perbankan tetap harus memperhatikan prinsip 5C dalam approval kredit KPR. Selain itu, Bank Indonesia secara berkala juga harus terus melakukan evaluasi efektivitas dan risiko atas kebijakan pelonggaran LTV saat ini.  Bank Indonesia harus menindak secara tegas apabila pelanggaran yang dilakukan oleh stakeholders dalam pemanfaatan pelonggaran LTV. Tujuannya jelas, agar pemberian kredit KPR di tengah relaksasi saat ini, tidak berakhir menjadi bubble dan kredit macet yang bisa berakibat fatal terhadap stabilitas perekonomian.

Artikel ini dimuat di Kolom Riset Majalah Stabilitas Edisi 145/16 Juli – 15 Agustus 2018 Th.XIII