Ilustrasi Opini - Catatan Terhadap HET Beras

Penulis mengapresiasi Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mengeluarkan beleid harga eceran tertinggi (HET) beras yang berbeda-beda di setiap wilayah dan jenis beras. Ini keputusan rasional, mengingat pembentukan harga beras di setiap wilayah memang berbeda-beda. Banyak faktor yang memengaruhi pembentukan harga beras.  Misal biaya transportasi dari sawah hingga ke konsumen.


Hal ini berbeda dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang harga acuan yang menyeragamkan harga acuan untuk seluruh wilayah Indonesia.   Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu dikritisi terhadap kebijakan tersebut terutama konsekuensi hukum dari Permendag yang kontraproduktif.

 
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan mengeluarkan beleid terkait dengan harga eceran tertinggi beserta ketentuan dan sanksinya. Berikut besaran harga eceran tertinggi untuk beras medium di Jawa, Lampung dan Sumatera Selatan sebesar Rp 9.450 per kg dan premium Rp 12.800 per kg. Untuk wilayah Sumatera selain Lampung dan Sumatera Selatan harga beras medium Rp 9.950 per kg dan Rp 13.300 per kg untuk premium.
Harga beras untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat Rp 9.450 per kg untuk medium dan Rp 12.800 per kg untuk premium. Di wilayah Nusa Tenggara Timur Rp 9.950  per kg untuk medium dan Rp 13.300 per kg premium. Sedangkan wilayah Sulawesi Rp 9.450 per kg untuk beras medium dan Rp 12.800 per kg untuk beras premium. Ada pun HET  untuk wilayah Maluku dan Papua adalah Rp 10.250 per kg untuk beras medium dan Rp 13.600 per kg untuk yang premium.

Adapun ketentuan dan sanksi atas beleid tersebut:  pertama, pelaku usaha dalam melakukan penjualan beras secara eceran kepada konsumen wajib mengikuti ketentuan harga eceran tertinggi.

Kedua, pelaku usaha wajib mencantumkan label medium atau premium pada kemasan dan label harga eceran tertinggi pada kemasan.

Ketiga, ketentuan ini dikecualikan terhadap beras medium dan beras premium yang ditetapkan sebagai beras khusus oleh Menteri Pertanian.

Keempat, pelaku usaha yang menjual beras melebihi harga eceran tertinggi dikenai sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat penerbit setelah sebelumnya diberi peringatan tertulis sebanyak dua kali oleh pejabat penerbit.

Kelima, ketentuan tersebut akan menggantikan ketentuan dalam Permendag Nomor 27 Tahun 2017.

Ketentuan HET terbaru bisa menjadi horor bagi pelaku usaha. Ada poin dalam Permendag tersebut yang mengikat secara hukum. Poin tersebut adalah pelaku usaha yang menjual harga beras melebihi harga eceran tertinggi dikenai sanksi pencabutan izin usaha oleh pejabat penerbit setelah sebelumnya diberi peringatan tertulis sebanyak dua kali oleh pejabat penerbit.

Melindungi konsumen

Dari aturan tersebut, ada pertanyaan penting soal bagaimana jika harga asal gabah sudah tinggi  karena gagal panen atau keterbatasan pasokan gara-gara bencana? Bisa dipastikan harga beras di konsumen bisa lebih tinggi dari HET. Apabila kondisi ini terjadi, apakah pelaku usaha akan dikenai sanksi? Kegaduhan pasti muncul.

Catatan kedua adalah ketentuan mengenai HET baru ini menunjukkan pemerintah  malas. Melalui beleid ini, pemerintah memiliki wewenang untuk menindak pelaku yang melanggar dengan kompromi dua kali peringatan.  Hal ini berbeda dengan Permendag Nomor 27 tahun 2017 yang tidak memuat ketentuan pencabutan izin usaha pelaku usaha yang ada.

Catatan ketiga adalah ketentuan HET ini dikhawatirkan akan menimbulkan pasar gelap bagi komoditas beras. Ketika harga keseimbangan beras berada di atas harga HET, maka bisa dipastikan akan ada pasar gelap.

Kondisinya adalah sebagai berikut: harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan beras medium di Pulau Jawa pada kondisi tertentu (gagal panen, suplai terbatas) adalah Rp 10.000 per kg.

Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan HET sebesar Rp 9.450 per kg. Di sisi lain, sebagai kebutuhan pokok, permintaan beras mengakibatkan permintaan melebihi penawaran. Semisal jumlah permintaan 100 ton dan ada perbedaan HET dengan harga keseimbangan, maka ada moral hazard dari pedagang. Pedagang akan melepas beras dagangannya  di HET dengan kuantitas 75 ton. Sisanya, 25 ton akan dijual di pasar gelap sebab ada pembeli yang bersedia bayar di harga Rp 10.000 per kg. Akibatnya akan ada kelangkaan di harga HET Rp 9.450. Cara ini hanya menguntungkan pedagang, bukan konsumen.

Menurut hemat penulis, ketentuan HET terbaru harus tetap menggunakan kerangka  harga acuan. Hal ini untuk menghindari munculnya tiga catatan yang saya kemukakan di atas. Namun untuk mewujudkan efektivitas harga acuan, ada syarat yang harus dipenuhi yakni pemerintah harus bisa meningkatkan kesigapannya dalam merespon volatilitas harga beras.

Semisal ketika pedagang menjual di atas ketentuan harga acuan, pemerintah menelisik lebih jauh sebab kenapa harganya di atas harga acuan. Hal ini memerlukan waktu, tapi dengan infrastruktur kelembagaan yang dimiliki oleh pemerintah mulai dari birokrat hingga intelijen, pemerintah seharusnya mampu dengan cepat mengungkap seperti apa penyebabnya.

Apabila terbukti ada pelanggaran, bisa langsung ditindak. Namun apabila penyebabnya di luar moral hazard pelaku usaha, semisal infrastruktur logistik yang buruk, pemerintah tidak serta merta memberi sanksi kepada pelaku usaha seperti pada ketentuan HET. Malah seharusnya pemerintah yang dikenakan sanksi karena tidak bisa menyediakan infrastruktur logistik yang efisien.

Apabila kerangka acuan tersebut dioptimalkan, akan membuat nyaman para pelaku usaha dengan adanya ketentuan yang saklek. Di sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa Pemerintah hadir sebagai wasit aktif, bukan wasit pasif, dalam melindungi kepentingan warga negaranya baik pelaku usaha maupun konsumen.

Pernah dimuat di Opini Harian KONTAN,  30 Agustus 2017

<!–

–>