Perkembangan perbankan Syariah pasca dikeluarkannya fatwa tentang riba, tidak semulus yang dibayangkan. Pasca adanya fatwa, banyak pihak yang berpendapat bahwa hal ini merupakan angin segar bagi perbankan Syariah berupa semakin meningkatnya nasabah yang berdampak pada kinerja perbankan Syariah. Namun, anggapan tersebut tidak 100% benar. Faktanya, hingga saat ini perbankan Syariah di Indonesia menghadapi tantangan berat yang harus segera dicarikan solusinya.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (interest/fa’idah). Dalam amar keputusan fatwa tersebut disebutkan pada bagian kedua tentang  Hukum Bunga (interest). Pada pasal A, praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya. Kemudian pada pasal B disebutkan Praktik pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

 Perkembangan Perbankan Syariah

Hingga April 2017, kinerja perbankan Syariah masih jauh di bawah kinerja bank konvensional. Hingga April 2017, aset perbankan Syariah di Indonesia baru sebesar Rp262 triliun. Angka ini hanya bertambah Rp57 triliun (tumbuh 27,8%) sejak Desember 2014.  Di sisi lain, aset perbankan konvensional hingga April 2017 mencapai Rp6.561 triliun, atau meningkat Rp1.151 triliun dari posisi Rp5.410 triliun di Desember 2014. (Gambar 1).

Melihat perkembangan aset tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa perbankan Syariah masih memiliki keterbatasan dalam rangka mengejar ketertinggalannya. Hal ini bertolak belakang dengan Indonesia yang merupakan sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jadi, fatwa dari MUI terkait dengan bunga perbankan di Indonesia masih belum bisa mendorong secara cepat perkembangan perbankan Syariah di Indonesia. Kondisi ini menggambarkan bahwa tantangan perbankan Syariah di Indonesia sangatlah berat.

Gambar 1. Perbandingan Aset Perbankan Syariah dan Perbankan Konvensional (Triliun)

134_Aset Perbankan Syariah dan Konvesnional

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, 2017, http://www.ojk.go.id

Gambar 2. Share Aset Perbankan Syariah terhadap Total Aset Perbankan (%)

134_Share Aset Perbankan Syariah terhadap total Aset Perbankan

Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, 2017, http://www.ojk.go.id

Kinerja dunia keuangan Syariah di Indonesia bisa dibandingkan dengan negara-negara lain. Perbandingan ini dilakukan dengan menggunakan ranking dan skor IFCI (Islamic Finance Country Index). Indeks ini merupakan sebuah perhitungan yang ditujukan untuk melihat perkembangan dan pertumbuhan industri perbankan/keuangan Syariah antar negara. Skor dalam indeks ini berkisar antara 1-100. Semakin tinggi skor, semakin pesat/maju perkembangan perbankan/keuangan Syariah di sebuah negara.

Berdasarkan IFCI, Indonesia pada tahun 2017 berada pada posisi 7, di bawah negara Malaysia, Iran, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Pakistan. Skor yang dimiliki Indonesia pada IFCI 2017 sebesar 23.98. Sebuah angka yang masih kecil dan belum menyentuh seperempat dari angka indeks.

Posisi 2017 tersebut apabila dibandingkan dengan IFCI 2016, lebih buruk. Pada tahun 2016, ranking Indonesia pada IFCI 2016 berada pada urutan 6 dengan skor 24,21. Apabila dilihat dari skor yang diperoleh, penurunan ranking Indonesia tidak disebabkan oleh adanya kenaikan skor negara lain, tapi juga disebabkan oleh berkurangnya skor Indonesia sebesar 0,23.

Tabel 1. Ranking dan Skor Islamic Finance 2016-2017

134_tabel 1_ranking dan skor Islamic Finance 16_17Sumber : Islamic Finance Country Index – IFCI 2017, Global Islamic Finance Report 2017

Terdapat beberapa tantangan perbankan Syariah di Indonesia yang perlu diperhatikan agar perbankan Syariah bisa berkembang lebih baik. Tantangan tersebut adalah : (1) Tantangan sumber daya manusia dan teknologi informasi, (2) Peraturan perbankan Syariah, (3) Tantangan dalam menghadapi krisis, (4) Tantangan Persaingan.

Tantangan pertama adalah keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi informasi. Meskipun aset perbankan Syariah masih jauh dibandingkan dengan aset perbankan konvensional, ekspansi perbankan Syariah dari tahun ke tahun semakin besar. Hal ini berakibat munculnya gap sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDM secara memadai. Hingga 2015, secara akumulasi diperkirakan terdapat gap antara kebutuhan dan ketersediaan SDM perbankan syariah mencapai 20.000 orang (Alamsyah, 2015).

Gap ini masih ditambah dengan kebutuhan 5.900 lulusan prodi perbankan Syariah yang tidak bisa tercukupi oleh lembaga Pendidikan. Pada tahun 2015, perguruan tinggi di Indonesia bisa meluluskan 1.500 lulusan perbankan Syariah. Namun demikian, dari 1.500 lulusan tersebut, tidak semuanya bisa terserap yang disebabkan oleh mismatch kompetensi antara lulusan dengan kebutuhan industri perbankan.  Saat ini jumlah prodi keuangan/perbankan Syariah di Indonesia mencapai lebih dari 100 program studi. Sebuah angka yang perlu ditambah jumlahnya.

Meskipun demikian, industri perbankan Syariah menilai bahwa lulusan program studi perbankan dan ekonomi Syariah di Indonesia sebagian besar belum siap pakai untuk kebutuhan industri keuangan. Hal ini mendorong industri untuk merekrut pegawai baru dari lulusan program studi umum.

Kondisi mismatch di atas disebabkan oleh kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik. Belum ada standarisasi kurikulum yang bisa menghasilkan lulusan siap pakai di industri perbankan Syariah. Diperlukan sokongan dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi untuk mendorong standarisasi kurikulum dan jenis keahlian yang bisa dipakai oleh perbankan Syariah. Di sisi lain, industri perbankan/keuangan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link and match’ dengan dunia pendidikan.

Selain sumber daya manusia, teknologi informasi juga menjadi masalah serius usaha perbankan Syariah. Bagi bank Syariah berskala kecil dan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah), keterbatasan kapasitas teknologi informasi dan kebutuhan untuk mengembangkan produk serta pemasaran produk menjadi tantangan tersendiri. Sebagai bank dengan kapasitas yang masih kecil, pengembangan teknologi informasi secara  mandiri bisa dipastikan berbiaya tinggi (costly).

Salah satu solusinya[1] adalah kerjasama dengan bank lain yang lebih besar atau dengan beberapa bank lain dalam pengembangan produk/layanan maupun pemasarannya. Hal ini akan menurunkan beban biaya per unit produksi/jasa layanan yang ditanggung oleh masing-masing bank.

Tantangan kedua berkaitan dengan dukungan regulasi. Meski kelahiran bank syariah pertama di Indonesia diawali oleh Bank Muamalat pada 1 November 1992. Momentum kebangkitan perbankan syariah justru dimulai sejak hadirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Melalui UU Perbankan Syariah tersebut, peluang  untuk membesarkan perbankan syariah sebetulnya semakin terbuka lebar.

Namun demikian, perbankan syariah masih membutuhkan dukungan dari regulasi turunan yang dikeluarkan oleh berbagai otoritas, terutama Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan. Dukungan kebijakan terutama ditujukan untuk mendorong peran perbankan Syariah dalam menggerakkan sektor riil. Dukungan OJK misalnya dalam hal menstimulus dan mempermudah lahirnya produk-produk perbankan syariah. Lalu mendorong bank syariah memanfaatkan sekuritisasi aset (tawriq) untuk menambah alternatif pendanaan jangka panjang.

Kemudian bentuk dukungan pemerintah misalnya dengan mengarahkan penempatan dan penyaluran dana milik pemerintah dan BUMN di perbankan Syariah, terutama yang terkait langsung dengan kepentingan publik seperti dana bantuan sosial, dana haji, dan sebagainya. Berkebalikan dengan ikhtiar mendukung perbankan Syariah, pasca pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) pemerintah justru mewacanakan pemanfaatan dana haji untuk proyek infrastruktur. Persoalannya, penempatan dana haji di perbankan syariah mencapai Rp62,6 triliun dari total dana haji yang mencapai Rp99,3 triliun. Jika terjadi realokasi dana haji untuk infrastruktur, sudah pasti likuiditas perbankan syariah akan semakin tergerus. Pemerintah mestinya mengoptimalkan dukungan sehingga market share perbankan Syariah bisa melewati 5%. Seperti halnya market share perbankan syariah di Malaysia yang mencapai 25% berkat dukungan total pemerintahnya.

Tantangan ketiga terkait pengelolaan risiko krisis yang dihadapi perbankan syariah. Daya tahan perbankan syariah menghadapi krisis sebenarnya telah teruji ketika krisis ekonomi 1997/98 membuktikan Bank Muamalat selamat dari terpaan ombak krisis. Namun berbeda dengan kondisi saat itu, kini dengan semakin besarnya peran perbankan syariah terhadap ekonomi nasional maka risiko yang dihadapi juga kian besar.

Berdasarkan publikasi OJK, rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah (non performing financing) masih berada di level yang mencemaskan yakni 4,75% per Mei 2017. Rasio NPF perbankan syariah nyaris menyentuh batas aman rasio kredit macet 5%. Bahkan rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah melampaui rasio kredit macet pada perbankan konvensional yang mencapai 3,07% per Mei 2017.

Tingginya rasio NPF menggambarkan perbankan syariah masih kesulitan menyalurkan dana nasabah secara efektif sehingga menyebabkan peluang meningkatkan laba semakin mengecil. Terbukti dengan rasio return on assets (ROA) perbankan syariah yang masih kecil yakni 1,11% per Mei 2017. Bandingkan dengan rasio ROA perbankan konvensional yang mencapai 2,46% pada periode yang sama.

Gambar 3. Rasio Kredit Macet Perbankan Syariah (NPF) dan Bank Umum (NPL)

Gambar 3_NPL syariah dan NPL Konven

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Selain itu, perbankan syariah juga tengah menghadapi risiko likuiditas jangka pendek tercermin dengan kenaikan short term mismatch. Indikator ini membandingkan kemampuan perbankan syariah dalam memenuhi kewajiban jangka pendek melalui aktiva jangka pendek. Rasio short term mismatch perbankan syariah terus meninggi dari 18,22% (2014), 20% (2015), 22,54% (2016) hingga mencapai 43,36% pada Mei 2017. Timpangnya aset dan kewajiban jangka pendek perbankan syariah ini akhirnya memaksa perbankan syariah untuk mencari sumber pendanaan jangka pendek dengan biaya yang lebih mahal. Salah satu alternatif pendanaan tersebut melalui Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS). Salah satu instrumen PUAS yang tersedia yakni transaksi penjualan surat berharga syariah dengan janji membeli kembali (repurchase agreement) atau repo syariah sesuai ketentuan PBI No.17/4/PBI/2015.

Tantangan keempat yang dihadapi perbankan syariah yakni kemampuan bersaing tidak hanya dengan perbankan konvensional tetapi juga dengan lembaga keuangan non bank. Di tengah pelambatan ekonomi yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan DPK dan Kredit bank umum. Perbankan syariah justru menunjukkan kinerja yang cemerlang terkait pertumbuhan DPK dan Kredit. Pertumbuhan DPK perbankan syariah melonjak dari 6,11% pada 2015 (yoy), 20,83% pada 2016 (yoy), dan 24% pada Mei 2017 (yoy). Padahal pada periode yang sama pertumbuhan DPK bank umum hanya tumbuh 9,6% (2016) dan 11,18% per Mei 2017.

Selain itu, pertumbuhan kredit perbankan syariah juga menorehkan kinerja yang cemerlang dengan pertumbuhan kredit sebesar 18,5% (2015), 20,96% (2016), dan 24,67% per Mei 2017 (yoy). Pertumbuhan kredit perbankan syariah melampaui pertumbuhan kredit bank umum 10,44% (2015), 7,87% (2016), dan 8,71% per Mei 2017. Situasi ini mestinya menjadi pertanda bahwa perbankan syariah memiliki kepercayaan yang kuat dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

Gambar 4.Pertumbuhan DPK dan Kredit Bank Syariah (%)

Gambar 4_Pertumbuhan DPK dan Krdit

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Potensi yang bisa digali untuk memperbesar peluang laju perbankan Syariah adalah industri atau sektor yang memiliki kaitan dengan pengeluaran rumah tangga kelas menengah muslim di Indonesia. Beberapa sektor yang bisa dimasuki oleh perbankan Syariah dengan platform pembiayaan syariahnya antara lain : produk makanan/minuman halal, kebutuhan sehari-hari dan pariwisata halal.

Indonesia dengan struktur ekonomi yang 55% lebihnya ditopang oleh konsumsi rumah tangga menjadikan industri makanan dan minuman berkembang pesat. Di sisi lain semakin bertambahnya kelas menengah di Indonesia, menjadikan sektor ini akan terus berkembang di masa mendatang. Kelas menengah yang bertambah menjadi penanda bahwa kemampuan konsumsinya pun bertambah. Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu pemantik meningkatnya awareness masyarakat terhadap produk halal di Indonesia.

Pertautan antara ekonomi Indonesia yang didominasi konsumsi, bertambahnya kelas menengah dan meningkatnya awareness masyarakat terhadap keberadaan produk halal menjadi peluang besar bagi perbankan Syariah. Perbankan Syariah bisa masuk ke produk-produk baru dengan trade mark halal nya. Salah satu produk yang sukses dengan label halalnya adalah kosmetik.

Potensi ketiga adalah pariwisata halal. Kelas menengah muslim yang bertambah dan kebutuhan akan rekreasi menjadikan wisata halal menjadi potensi baru untuk dikembangkan. Hingga sekarang, salah satu ikon wisata halal di Indonesia berada di Lombok. Selain Lombok, masih banyak potensi spot wisata di Indonesia yang bisa dikembangkan dengan menggunakan layanan jasa perbankan Syariah.

Selain sektor ekonomi di atas, peluang bagi perbankan syariah adalah meluncurkan inovasi produk untuk masuk ke dalam bisnis yang masih besar peluangnya.  Bisnis tersebut antara lain adalah sindicated financing, hybrid take over, international trade finance, Margin During Construction (MDC), refinancing, factoring,  KPRS inden, pembiayaan reimburs, IMBT dan Ijarah Maushifah fiz Zimmah, serta Musyarakah Mutanaqishah.

Paparan mengenai tantangan dan peluang di atas hendaknya bisa diolah menjadi sebuah kekuatan yang mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Minimal target pangsa pasar (asset) yang menyentuh angka 5 persen bisa segera terwujud. Diperlukan kerjasama serius antara stakeholder terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan, Pemerintah (Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama), Bank Indonesia untuk mengolah tantangan dan peluang tersebut menjadi kekuatan bank syariah. Jangan sampai peribahasa tikus kelaparan di lumbung padi terjadi pada perbankan syariah kita.

Pernah dimuat di Rubrik Riset Majalah Stabilitas, Edisi 134, Agustus-September 2017, Tahun XIII. Kolaborasi dengan Abra Puspagani Talattov

[1] Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019, http://www.ojk.go.id