Salah satu momen pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah momen hari raya, salah satunya Hari Raya Idul Fitri. Hal ini karena pada momen hari raya, konsumsi masyarakat kita meningkat drastis, terutama masyarakat Muslim. Makanan, sandang, dan jasa (transportasi dan pembayaran) adalah komoditas dan sektor paling banyak disasar. Namun, ada satu hal yang menjadi penghambat momen pemantik pertumbuhan tersebut yakni suplai barang dan logistik.

Ibarat manusia, permintaan diibaratkan kemauan kita lari kencang. Di sisi lain, sistem peredaran darah kita tidak lancar yang mengakibatkan kita tidak bisa lari kencang. Ekstremnya, pembuluh darah kita pecah, stroke di depan mata. Aktivitas lari yang kencang membutuhkan suplai darah lancar. Salah satu faktor terpenting yang memengaruhi lancarnya peredaran darah adalah pembuluh darah yang tidak tersumbat.

Pun dengan aktivitas ekonomi. Momen lebaran adalah salah satu momen lari kencang. Keberadaannya membutuhkan dukungan infrastruktur apik agar aliran barang dan manusia lancar. Apabila ada infrastruktur tidak bisa menopang aliran tersebut, bisa jadi pecahlah ekonomi kita. Lari kencang pun tidak bisa. Alhasil, ekonomi pun tidak bisa tumbuh pada titik optimalnya.

Fakta analogi di atas terlihat jelas ketika lebaran 2016 silam. Tragedi kemacetan parah di Brexit dan jalur Ketanggungan-Songgom-Prupuk adalah salah satu contoh tersumbatnya aliran “darah”. Akibatnya, pecah “pembuluh darah” tak terelakkan. Sebanyak 17 orang meninggal akibat tragedi Brexit adalah dampak dari pecah pembuluh darah tersebut. Selain itu, kemacetan parah di jalur itu mengakibatkan high cost economy yang merugikan pemudik dan perekonomian. Salah satunya adalah kantong pemudik tergerus hanya untuk menebus bahan bakar 1 liter seharga Rp 50 ribu.

Mengapa Konsumsi?
Saat ini, konsumsi Indonesia menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi di Indonesia memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan PDB. Pada 2010, konsumsi rumah tangga di Indonesia menyumbang pembentukan PDB 56,6 persen disusul investasi 32,1 persen dan ekspor bersih 22,9 persen.

Memasuki 2016, angkanya tidak jauh berbeda. Konsumsi rumah tangga menyumbang ke pembentukan PDB 56,5 persen, disusul investasi 32,57 persen, dan ekspor bersih 18,31 persen. Besarnya konsumsi rumah tangga ini menjadikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi yang terbesar yakni 2,72 persen. Sedangkan investasi menyumbang pertumbuhan pada 2016 sebesar 1,45 persen dan ekspor bersih menyumbang pertumbuhan ekonomi minus 0,47 persen.

Memasuki momen lebaran (pertengahan puasa menjelang hari H lebaran), pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi yang tertinggi selama dua tahun terakhir di tengah perlambatan ekonomi. Data BPS menunjukkan, pada 2015, di kuartal kedua, di mana terdapat momen puasa dan momen menjelang lebaran 2015, pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,12 persen. Pertumbuhan itu merupakan pertumbuhan tertinggi di antara tiga kuartal lain pada tahun tersebut. Selain itu, pada kuartal kedua 2015, konsumsi rumah tangga menjadi komponen pengeluaran dengan pertumbuhan tertinggi dibanding komponen lain semisal investasi 94,07 persen dan konsumsi pemerintah 2,15 persen.

Kondisi hampir sama terjadi pada 2016. Konsumsi rumah tangga kuartal kedua 2016 menjadi pertumbuhan konsumsi tertinggi sepanjang 2016 (5,07 persen). Pada kuartal lain, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97 persen (kuartal pertama 2016), 5,01 persen (kuartal ketiga 2016), dan 4,99 persen (kuartal keempat 2016). Bedanya dengan 2015, pada kuartal kedua 2016, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kalah dengan pertumbuhan konsumsi Pemerintah (6,23 persen) dan konsumsi lembaga non-pemerintah dan rumah tangga (6,71 persen).

Momentum
Pemerintah harus sekuat tenaga menjaga momentum lebaranomics, dan juga hari raya serta libur panjang lain, untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Kunci utamanya ada dua, pasokan barang lancar dan infrastruktur transportasi lancar.

Pasokan barang tidak hanya mencakup ketersediaan yang mencukupi, namun kelancaran arus distribusinya. Apabila barang tersedia di pusat produksi, tetapi tidak tersedia infrastruktur untuk mendistribusikannya, sama saja bohong. Harga di konsumen tetap tinggi, melimpahnya pasokan di pusat produksi tidak bisa dinikmati konsumen dalam wujud harga terjangkau dan juga oleh produsen dalam harga yang wajar.

Selama puasa dan memasuki lebaran 2017, harga yang stabil belum tentu bisa diklaim sebagai penanda ketersediaan barang yang mencukupi dan arus distribusi yang lancar. Bisa jadi karena daya beli masyarakat lemah. Hal ini terlihat dari tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dan juga konsumsi rumah tangga sejak 2011. Pada kuartal pertama 2011, konsumsi rumah tangga 5,55 persen. Pada kuartal pertama 2017 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5,01 persen.

Kunci kedua, infrastruktur transportasi yang lancar. Lancarnya transportasi ini dianalogikan dengan pembuluh darah yang tidak tersumbat. Apabila lancar, ekonomi lebaran akan bisa memberikan efek pengganda yang lebih terhadap perekonomian. Semoga lebaran kali, lebaran tahun-tahun depan dan libur hari raya lainnya memberikan efek pengganda konsumsi rumah tangga yang optimal bagi perekonomian.

Pernah dimuat di Opini Harian Nasional, Senin 10 Juli 2017, Harian Nasional