Majalah the Economist edisi 8 April 2017 mengangkat sebuah ulasan berjudul The History of Growth should be all about recessions : Faster growth is not due to bigger booms, but to less shrinking. Tulisan tersebut memaparkan pandangan baru mengenai pertumbuhan ekonomi yang cepat seperti dialami oleh negara-negara Eropa antara 1800 hingga 1950. Pada 1800-an, GDP per kapita hanya sebesar 3.600 USD per orang lalu meningkat menjadi 10.000 USD pada 1950. Sebelum 1800, PDB per kapita stagnan pada level 725 – 1.100 USD per kapita.
Sebelumnya para ekonom berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kuantitas dan produktivitas dari tenaga kerja dan modal. Namun, pandangan baru yang dikemukakan oleh Stepehen Broadberry dari Oxford University dan John Wallis dari Universitas Maryland menyatakan : “faster growth is not due to bigger booms, but to less shrinking in recessions” (pertumbuhan ekonomi yang cepat bukan disebabkan oleh periode pertumbuhan yang tinggi, tapi lebih dikarenakan perekonomian tersebut lebih tahan atau lebih kecil terkena dampak krisis).
Pandangan di atas menunjukkan bahwa peran untuk menangkal dan menyelesaikan krisis ekonomi adalah sangat penting. Di dunia yang semakin maju dan modern seperti sekarang ini, konektivitas antar negara semakin erat, permasalahan krisis, terutama krisis finansial, akan semakin intens gejalanya (symptom). Di sinilah peran otoritas keuangan di masing-masing negara menjadi sangat vital dalam mencegah dan mengelola krisis, termasuk Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan.
Empat Tantangan
Setidaknya terdapat empat tantangan utama OJK yang harus dihadapi oleh kabinet OJK baru. Empat tantangan tersebut adalah (1) Pendalaman pasar keuangan dan keuangan inklusif, (2) Tantangan untuk mengedukasi masyarakat terkait dengan dunia keuangan, (3) Tantangan penegakan kode etik dan (4) Tantangan untuk mengawasi dan memitigasi risiko pada sektor keuangan Indonesia.
Tantangan pertama, pendalaman pasar keuangan dan keuangan inklusif. Pendalaman pasar keuangan di Indonesia diperlukan mengingat kondisinya yang masih dangkal. Hal ini terlihat dari terlihat dari jumlah emiten saham di Bursa Efek Indonesia yang hanya 535 perusahaan. Angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan jumlah emiten di negara kawasan semisal Malaysia (1.400) dan Thailand (2.360). Indikator lain menunjukkan jumlah emiten obligasi domestik hanya sebanyak 140 perusahaan. Sedangkan di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 304 dan 1.008 emiten.
Data dari Mandiri Institute dan Oliver Wyman menunjukkan bahwa tingkat partisipasi investor ritel di pasar keuangan Indonesia hanya mencapai 0,2 persen dibandingkan dengan total populasi (sekitar 450.000 investor). Sedangkan, partisipasi investor ritel di India telah mencapai 2 persen dari total populasi atau sekitar 25 juta investor (populasi India 1,25 miliar orang pada 2013). Dampaknya, tingkat kontribusi pasar saham Indonesia ke PDB hanya mencapai 49 persen. Sementara, Thailand 111 persen, Malaysia 141 persen, dan India 149 persen.
Dalamnya pasar keuangan diperlukan dalam rangka untuk menjaga stabilitas kondisi ekonomi di Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi tersebut diwujudkan dalam ketersediaan likuiditas yang mencukupi dan ditopang oleh pasar. Dalamnya pasar keuangan juga akan membantu menyediakan dana untuk pembiayaan pembangunan yang memerlukan dana jangka panjang. Terlebih untuk proyek-proyek yang bersifat jangka panjang semisal pembangunan infrastruktur.
Seperti diketahui, dalam periode 2015-2019, diperlukan pembiayaan infrastruktur dalam negeri sebesar Rp4.795 triliun. Pemerintah hanya mampu menyediakan dana Rp1.978 triliun melalui sumber APBN dan APBD (41,3%) dan Rp1.066,2 triliun melalui pembiayaan BUMN (22,2%). Sedangkan sisanya diharapkan berupa pembiayaan swasta. Namun, sumber pembiayaan dari swasta terkendala sejumlah hambatan salah satunya kekeringan likuiditas dalam negeri. Angka LDR di penghujung 2016 mencapai 90%.
Itulah mengapa, pendalaman pasar keuangan mutlak diperlukan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mendorong pendalaman pasar keuangan di Indonesia di luar kebijakan yang sudah ada. Pertama, pembentukan taskforce pendalaman pasar keuangan yang melibatkan stakeholder semisal OJK, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Perbankan, Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Efek Indonesia, dan Lembaga Pembiayaan Non Bank. Kedua, penyusunan master plan pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Ketiga mengusahakan insentif pajak yang ramah terhadap penempatan dana jangka panjang di Indonesia, dan Keempat mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melantai di bursa.
Pertama-tama yang perlu disiapkan dalam pendalaman pasar keuangan di Indonesia adalah fondasi infrastruktur dan governance-nya. Keduanya penting agar bangunan-bangunan yang akan dibangun setelahnya tidak mudah goyah dan runtuh. Â Berikut tahapan pengembangan pasar keuangan di Indonesia yang diusulkan oleh Oliver Wyman dan Mandiri Institute dalam laporan Financial Deepening In Indonesia : Funding Infrastructure Development- Catalyzing Economic Growth.
Tabel 1. Empat Tahapan Pengembangan Pasar Keuangan di Indonesia
Sumber : Financial Deepening In Indonesia : Funding Infrastructure Development – Catalyzing Economic Growth, Oliver Wyman dan Mandiri Institute, 2015
Tantangan kedua, edukasi masyarakat terkait dengan dunia keuangan. Edukasi bukan hanya berkutat pada sosialisasi dan promosi pasar keuangan, namun juga perlu ditekankan mengenai peran dan tanggung jawab OJK dalam melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan investasi bodong atau investasi abal-abal. Terbukti, OJK menemukan sekitar 80 perusahaan investasi tanpa izin yang jelas alias bodong dalam kurun empat tahun terakhir (2013-2016). Kegiatan investasi ilegal ini sangat marak sekali sehingga meresahkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat semakin tidak percaya untuk melakukan investasi di sektor keuangan baik perbankan maupun non perbankan, pendalaman sektor keuangan pun makin sulit dilakukan.
Terkait dengan fungsi perlindungan tersebut, OJK sebenarnya sudah memiliki Peraturan OJK No.01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Prinsip perlindungan konsumen, bersifat transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data informasi serta penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dengan biaya terjangkau. Meskipun OJK telah memiliki perangkat aturan, dalam praktiknya tantangan melindungi kepentingan konsumen semakin berat. Bahkan, pada tahun 2016 terjadi peningkatan temuan investasi bodong mencapai 40 perusahaan. Ke depan, OJK tidak boleh hanya pasif menerima aduan dari masyarakat, tetapi juga harus agresif memburu dan menindak tegas para pelaku investasi bodong. Salah satunya dengan memaksimalkan koordinasi Satuan Tugas Waspada Investasi yang melibatkan OJK, Kementerian Perdagangan, dan Kepolisian.
Selain itu, persoalan yang kerap dialami konsumen korban investasi bodong yakni kesulitan mendapat penggantian hak mereka atas dana yang telah disetor ke investasi bodong. Dalam proses penyelesaian sengketa antara investor dengan pengelola investasi bodong itulah peran OJK sangat diperlukan. Dengan demikian, tugas berat OJK, khususnya Bidang Edukasi dan Perlindungan yakni melakukan edukasi yang lebih intensif dan ekspansif dari yang selama ini telah dilakukan. OJK harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai cara-cara mengenali investasi bodong. Misalnya, bagaimana konsumen menggali informasi tentang keabsahan perizinan, manajemen, dan suku bunga investasi yang wajar. Apakah sebuah investasi dengan tawaran imbal hasil 5 persen per bulan (60 persen setahun) masih dianggap wajar? apalagi suku bunga deposito perbankan berkisar 6-7 persen setahun. OJK diharapkan lebih gencar lagi mempublikasikan nama-nama perusahaan investasi bodong tersebut, terutama melalui media sosial.
Tantangan ketiga, penegakan kode etik internal OJK. Sebagai lembaga pengatur, pengawas, pemeriksa dan penyidik, OJK merupakan sebuah lembaga superbodi. Pertanyaannya adalah siapa yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut ? Meskipun anggota Komite Etik salah satunya berasal dari profesi akademisi yang bisa memperkuat bentuk independensi komite etik, namun ada hal lain yang perlu diperhatikan.
Komite etik bisa saja memeriksa atasan mereka yang dalam hal ini bisa menimbulkan kecanggungan dan tekanan terhadap para anggota komite etik. Untuk itulah, diperlukan terobosan baru agar komite etik terbebas dari segala tekanan dan ancaman dalam menjalankan tugas mereka. Hak imunitas salah satunya. Selain itu, bisa juga dibuat sebuah komite etik yang melibatkan pihak luar dengan komposisi 50;50 atau komposisi pihak luar yang lebih banyak.
Meskipun hingga saat ini belum ada kasus terkait dengan kode etik OJK, namun tidak menjadikan DK OJK mendatang “bersantaiâ€. Justru sebaliknya, penegakan kode etik OJK harus selalu ditegakkan dan tentu saja diharapkan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Bagaimanapun juga tantangan DK OJK dibidang kode etik ke depan semakin berat di tengah usaha OJK dalam memperdalam pasar keuangan di Indonesia dan volatilitas dunia keuangan internasional yang semakin volatile dan terhubung dengan dunia keuangan Indonesia. Â Penekanan tentang kode etik OJK bukan hanya berkonsentrasi pada pasca terjadinya pelanggaran, namun lebih kepada tindakan preventif. Hal ini penting untuk menjadikan dunia keuangan di Indonesia, terlebih otoritasnya, semakin firm sehingga memberikan kesan yang positif bagi para investor, baik dalam negeri dan terutama luar negeri. Terlebih bagi Indonesia saat ini yang sangat membutuhkan sumber likuiditas di domestik.
Tantangan keempat, meningkatkan pengawasan terhadap berbagai risiko krisis di sektor keuangan, baik terhadap sektor perbankan maupun lembaga keuangan non bank. Saat ini OJK mengawal aset lembaga keuangan Rp9.000 triliun, yang didominasi oleh sektor perbankan hampir 75% atau Rp6.607 triliun. Sedangkan sisanya tersebar pada lembaga asuransi Rp913,07 triliun, lembaga pembiayaan Rp499,12 triliun, dan dana pensiun Rp233,68 triliun (Kontan, 18/1/2017). OJK dengan jumlah sumber daya manusia sekitar 1.220 pengawas, memiliki tanggung jawab pengawasan sektor keuangan yang menghimpun dari dana masyarakat.
OJK harus melakukan langkah-langkah antisipatif menghadapi potensi krisis khususnya mengidentifikasi titik-titik rawan dalam kejahatan (fraud) pada sektor keuangan. Dalam aktivitas perbankan misalnya, titik rawan kejahatan datang dari kegiatan pendanaan, pemberian pinjaman, pemberian jasa, operasional akuntansi, dan operasional lainnya (Supriyanto, 2011). Ke semua titik rawan ini mesti diturunkan dalam jenis-jenis aktivitas yang lebih detail sehingga dapat dirumuskan bentuk pengawasan yang ideal terhadap sektor keuangan. Tantangan mengidentifikasi detail beragam kejahatan tersebut semakin berat, apalagi keberadaannya terus berkembang dari waktu ke waktu. Dengan demikian OJK dituntut bisa memperbarui dan memetakan potensi kejahatan di sektor keuangan secara baik karena otoritas regulasi dan pengawasan sepenuhnya berada di OJK. Poin ini yang nantinya harus mendapatkan titik tekan dari OJK.
OJK harus belajar dari pengalaman kelam kegagalan Otoritas sejenis di Inggris dengan FSA (Financial Stability Authority). Jika OJK lahir di Indonesia dengan latar belakang gagalnya fungsi pengawasan perbankan oleh Bank Sentral ketika terjadi krisis Bank Century. Sebaliknya di Inggris, FSA justru dibubarkan karena dinilai gagal menjalankan fungsi pengawasan perbankan dan kemudian kewenangannya dikembalikan pada Bank Sentral. Akhirnya, Northem Rock di Inggris menjadi bank pertama dari beberapa bank yang harus di bailout pemerintah Inggris karena krisis global 2008. Pelajaran pentingnya adalah bukan siapa yang mengawasi sektor keuangan, tetapi lebih penting lagi sejauh mana kualitas dari pengawasannya. Otoritas harus memiliki keberanian dalam mengambil tindakan pencegahan (pre-emptive supervisory actions) yaitu tindakan sebelum kondisi sebuah lembaga keuangan semakin parah dan berpotensi memicu penulara ‘penyakit’.
Semua tantangan yang menanti Kabinet Baru OJK tersebut harus menjadi perhatian oleh para kandidat DK OJK yang nantinya akan menduduki Kabinet OJK. Bagaimanapun juga, Indonesia sangat butuh akan keberadaan pasar keuangan yang firm, kokoh dan minim risiko krisis. Semua itu harus dipenuhi mengingat kebutuhan akan pendanaan di Indonesia yang besar dan juga pandangan baru mengenai pertumbuhan ekonomi bukan lebih tertuju pada produktivitas modal dan tenaga kerja, tapi bagaimana sebuah perekonomian menghindar jauh dari paparan krisis.
*) Dimuat di Rubik Riset Majalah Stabilitas Edisi 130 April s/d Mei 2017 Th XII Majalah Stabilitas