Mengapa Suku Bunga Perbankan di Indonesia Tinggi ?

Suku bunga rendah sangat dibutuhkan dalam perekonomian Indonesia. Salah satu alasannya adalah untuk memacu penyaluran kredit. Ketika kredit bertumbuh pesat, maka output dalam perekonomian bertambah yang berujung dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Sudah lama bunga rendah hanya menjadi bunga mimpi bagi para pelaku ekonomi yang berkepentingan, baik langsung dan tidak langsung, terhadap suku bunga tersebut.

Beragam ikhtiar penurunan suku bunga telah dilakukan. Pengendalian inflasi yang dilakukan oleh otorritas moneter terlihat membuahkan hasil. Inflasi beberapa tahun terakhir terkendali. Pun dengan pemerintah sebagai otoritas fiskal. Pemberian subsidi bunga melalui program KUR semakin intensi dilaksanakan. Hasilnya, suku bunga single digit khusus KUR tercapai.

Namun, itu semua akan tetap sulit tercapai apabila beberapa faktor penentu suku bunga tidak bisa dikelola. Faktor tersebut bisa dikatergorikan sebagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antara lain inflasi dan struktur industri perbankan. Faktor internal diantaranya meliputi biaya cost of fund dan biaya overhead bank.

Suku Bunga Tinggi

 Perlu diketahui, tingkat suku bunga di Indonesia masuk kategori tinggi, dibandingkan dengan negara-negara sekawasan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, suku bunga pinjaman di Indonesia (rata-rata) di atas 10 persen per tahun. Pada 2010, nilainya 13,25 persen. Hingga 2015, nilainya cenderung menurun menjadi 12,66 persen pada 2015. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Tiongkok dan India, tingkat suku bunga pinjamnnya berada di bawah 10 persen.

Tabel 1. Suku Bunga Pinjaman Beberapa Negara, 2010 – 2015 (%)

Negara 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Indonesia 13,25 12,40 11,80 11,66 12,61 12,66
Singapura 5,38 5,38 5,38 5,38 5,35 5,35
Malaysia 5,00 4,92 4,79 4,61 4,59 n.a
Philipina 7,67 6,66 5,68 5,77 5,53 n.a
Thailand 5,94 6,91 7,10 6,96 6,77 6,56
Tiongkok 5,81 6,56 6,00 6,00 5,60 n.a
India 8,33 10,17 10,60 10,29 10,25 n.a

  Sumber : Bank Dunia, 2015

Faktor Internal

Cost of fund bisa dilihat dengan melihat biaya bunga dalam komponen biaya operasional bank. Hingga triwulan III 2015, beban bunga mencapai 47,61 persen dari total komponen biaya operasional industri perbankan di Indonesia. Beban bunga terbesar terdapat dalam komponen kewajiban kepada pihak ketiga bukan bank sebesar 55,84 persen.

Sedangkan beban biaya nonbunga meliputi 52,39 persen total biaya operasional. Beban non bunga terbesar terdapat dalam pos lainnya yang meliputi biaya overhead cost seperti beban gaji dan operasional seperti operasional kantor yang meliputi 48,25 persen total beban non bunga. Komponen beban non bunga terbesar kedua terdapat dalam pos penyusutan (25,44 persen) dan kerugian atas transaksi spot dan derivatif sebesar 24,50 persen. (Statistik Perbankan Indonesia, Tw III 2015, http://www.ojk.go.id)

Tingginya beban overhead cost perbankan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh karakter industri perbankan Indonesia yang belum terlalu efisien dan tertata dengan baik seperti di negara-negara maju. Hal ini terlihat dari tingkat kedalaman sektor keuangan di Indonesia yang masih rendah. Saat ini kedalaman sektor keuangan Indonesia berkisar pada angka 30 persen dari produk domestik bruto. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan sebesar 109 persen, Singapura 102 persen, dan Thailand 97 persen.

Gambar 1. Share Beban Bunga dan Non Bunga Dalam Struktur Biaya Perbankan Indonesia, Tw 3 2015

gambar 1

Sumber : Lap. Profil Industri Perbankan, Tw 3, www.ojk.go.id

 

Tabel 2. Share Beban Bunga dan Non Bunga Dalam Struktur Biaya Perankan Indonesia, Tw I,II dan III 2015

Keterangan Tw 1 2015 Tw 2 2015 Tw 3 2015
Beban Bunga 48,1 48,78 47,61
Kepada Bank Indonesia 0,13 0,14 0,14
Kewajiban kepada bank lain 1,59 1,75 1,77
Kepada pihak ketiga bukan bank 55,46 56,08 55,84
Surat Berharga 2,2 2,32 2,36
Pinjaman yang diterima 1,22 1,13 1,16
Lainnya 36,9 37,51 38,06
Koreksi atas pendapatan bunga 2,51 1,08 0,68
Beban Non Bunga 51,9 51,22 52,39
Penurunan nilai/kerugian penjualan surat berharga 0,8 0,79 0,89
Penurunan nilai/kerugian penjualan kredit 0,03 0,04 0,05
Penurunan nilai/kerugian penjualan asset 0 0 0,01
Kerugian transaksi spot dan derivative 23,51 20,24 24,5
Penyusutan/Amortisasi 28,21 27,73 25,44
Kerugian Penyertaan Equity 0,86 0,93 0,86
Lainnya 46,58 50,28 48,25

Sumber : Lap. Profil Industri Perbankan, Tw 3, www.ojk.go.id

Faktor Eksternal

Suku bunga akan rendah apabila besaran inflasi juga rendah dan terkendali. Inflasi yang terkendali dan stabil adalah salah satu kunci menuju suku bunga rendah. Secara teori, suku bunga akan berada di atas besaran inflasi satu tahun untuk menghindari tergerusnya nilai riil simpanan.

Bank sentral sebagai otoritas yang memiliki wewenang sebagai leading aktor pengendalian inflasi beberapa kali kewalahan. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, Bank Indonesia hanya bisa mengendalikan inflasi pada 3 tahun (2011,2012, dan 2015). Angka inflasinya berada di bawah target yang dipatok Bank Indonesia yang berkisar 4 hingga 5 persen/tahun.

Pada 2013 dan 2014, bank sentral gagal dalam mengendalikan inflasi yang ada. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh sumber inflasi yang ada. Bank sentral dengan instrument moneternya, lebih mampu dalam mengendalikan inflasi dari sisi demand. Hal tersebut berbeda dengan sumber inflasi yang selama ini kerap menjadi biang kerok inflasi yang melebihii target bank sentral yakni inflasi dari sisi pasokan.

Selain bersumber dari sisi pasokan, jenis barang yang banyak menyumbang besaran inflasi adalah kelompok barang volatile food dan administered food. Keduanya bukan merupakan domain bank sentral, lebih ke domain otoritas fiskal. Pada masa inflasi 2013 dan 2014, kelompok barang dengan inflasi tertinggi adalah kelompok bahan makanan sebesar 11,35 % (2013) dan 10,57 % (2014) dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 7,45% di tahun 2013 dan 8,11% di tahun 2014.

Tabel 3. Inflasi dan Target Inflasi Nasional, 2011-2015 (%)

  2011 2012 2013 2014 2015
Inflasi 3.79 4.30 8.38 8.36 3.35
Target BI   5.0   4.5   4.5   4.5   4.0

Sumber : BPS dan SEKI – Bank Indonesia, Feb 2016

Faktor eksternal berikutnya adalah tingkat persaingan perbankan. Dalam teori pasar persaingan, semakin kompetitif sebuah industri, maka efisiensi akan bisa dengan mudah digapai. Dalam industri perbankan, efisiensi salah satunya akan berujung pada tingkat suku bunga yang rendah.

Dalam tulisan ini akan menampilkan hasil perhitungan untuk menlihat tingkat konsentrasi/kompetisi industri perbankan di Indonesia yakni perhitungan concentration ratio – 4 (CR-4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI). Perhitungan CR-4 dan HH Index dilakukan dengan melihat asset, kredit yang disalurkan dan dana pihak ketiga yang dihimpun.

Perhitungan CR-4 dilakukan dengan memasukkan empat bank terbesar selama kurun waktu 2011-2014 yang meliputi bank Mandri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Central Asia dan Bank Negara Indonesia 46. Sedangkan perhitungan HH Index dilakukan dengan melibatkan 94 bank yang meliputi bank persero, bank devisa, bank non devisa dan Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Hasil perhitungan CR-4 menunjukkan nilai CR-4 baik asset, kredit dan DPK berkisar pada angka 41 hingga 46. Nilai Berdasarkan kriteria dalam Jiao (2002)[1], maka industri perbankan di Indonesia masuk kategori oligopoli 3 (skala oligopoli 1 hingga 5, dengan oligopoli 1 sangat terkonsentrasi).

Apabila dilihat lebih jauh, pasar kredit lebih kompetitif dibandingkan dengan ukuran asset serta dana pihak ketiga. Nilai CR- 4 kredit sebesar 41,72 pada 2011, meningkat menjadi 42,19. Sedangkan nilai CR-4 dana pihak ketiga sebesar 46,24 pada 2011 menurun menjadi 45,80.

Gambar 2. Concentration Ratio – 4 Industri Perbankan di Indonesia 2011- 2014

gambar 2

Sumber : Direktori Perbankan Indonesia 2011 sd 2014, Bank  Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, diolah.

Apabila melihat HH Indeks, maka industri perbankan nasional belum bisa dikatakan terkonsentrasi. Berdasarkan US Horizontal Merger Guidelines, 2010, struktur industri perbankan yang tidak terkonsentrasi memiliki nilai Herfindahl Hirschman Index di bawah 1.500 serta konsentrasi tinggi dengan HHI lebih besar dari 2.500.

Tabel 3 Treshold HHI berdasarkan US Horizontal Merger Guidelines 2010

Tipe Pasar Treshold HHI
Tidak terkonsentrasi <1.500
Konsentrasi Moderat 1.500< HHI < 2.500
Konsentrasi Tinggi >2.500

Nilai HH indeks, perbankan Indonesia berkisar 540 hingga 650. Nili HH indeks tertinggi ada di dana pihak ketiga dengan nilai HH indeks 628,69 (2011). Angkanya meningkat menjadi 650,52 pada 2014. Nilai HH indeks terendah adalah nilai HH indeks kredit dengan nilai 546,93 (2011). Angkanya meningkat menjadi 554,08 pada 2014.

Meskipun belum bisa dikategorikan terkonsentrasi, namun nilai HH indeks perbankan di Indonesia meningkat. Hal ini menunjukkan kecenderungan ke arah menuju pasar yang terkonsentrasi, terlebih pada nilai HH indeks dana pihak ketiga.

Gambar 3. Herfindahl Hirschman Index Industri Perbankan di Indonesia 2011- 2014

Gambar 3 HHI

Sumber : Direktori Perbankan Indonesia 2011 sd 2014, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

Yang Harus Dilakukan

Berdasarkan paparan di atas, upaya penurunan suku bunga harus mengusahakan, pertama mengurangi biaya overhead dalam industri perbankan dengan mengupayakan branchless banking seperti dengan mengoptimalkan program LAKUPANDAI; kedua mendorong industri perbankan mencari mengusahakan pendapatan operasional perbankan dari pendapatan non bunga seperti investasi pada surat berharga. Hal ini mengingat pendapatan operasional industri perbankan nasional 76,2 persen berasal dari pendapatan bunga (2015).

Ketiga, optimasi pengelolaan inflasi dengan otoritas fiskal. Optimasi peran TPID (Tim Pemantau Inflasi Daerah) perlu dilakukan agar inflasi yang bersumber dari sisi suplai bisa optimal dikendalikan; Keempat mendorong industri perbankan agar bisa lebih kompetitif dari level of competitiveness yang sekarang sudah ada; Kelima optimasi kebijakan moneter Bank Indonesia, terutama instrumen yang berujung pada pengendalian inflasi.

*) Pernah Dimuat di Rubrik Riset Majalah Stabilitas Edisi 119, April – Mei 2016, Majalah Stabilitas

 

[1] Jiao, J., 2002. Study on International Competitiveness of China’s Banking Industry, Chinese Modern Economic Publishing House, Beijing:69–77.