Globalisasi adalah sebuah keniscayaan di tengah dunia yang semakin terkoneksi. Namun demikian, di tengah keniscayaan tersebut, perlu adanya penyikapan yang arif, bijak, penuh perhitungan serta manfaat dan mudhorotnya terhadap globalisasi serta kerjasama yang menyertainya. Point yang paling penting adalah memperhatikan kepentingan nasional yang ada.

Stiglitz, dalam bukunya, Globalization and Its Discontent (2001) menerangkan bahwa kesuksesan sebuah globalisasi tergantung pada pengelolaannya. Globalisasi akan membawa keuntungan bagi bangsa bangsa di dunia apabila dikelola dengan tetap memperhatikan karakteristik setiap negara. Stiglitz menyebutkan kegagalan globalisasi muncul ketika globalisasi dikelola oleh institusi internasional tanpa memerhatikan karakteristik negara-negara di dunia. Stiglitz mencontohkan contoh globalisasi di sektor keuangan yang dikelola oleh IMF.

Salah satu turunan dari globalisasai adalah kerjasama perdagangan antara beberapa negara, terutama dalam satu regional. Dunia perdagangan internasional mengenal adanya kerjasama perdagangan atau kerjasama regional yang di dalamnya terdapat misi perdagangan semisal APEC, OPEC, ASEAN, ASEAN + 3, dan ASEAN + 6 yang disebut Regional Comprehensif Economic Partnership (RCEP).

Bentuk kerjasama terbaru yang sekarang mencuat menjadi isu hangat adalah Trans Pacific Partnership (TPP) yang resmi diluncurkan pada 5 Oktober 2015. Kerjasama TPP beranggotakan 12 negara kawasan di Kawasan Asia-Pasifik yakni Australia, Selandia Baru, Jepang, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Singapura, Mexico, Peru, Chili, Kanada dan Amerika Serikat. Kerjasama perdagangan yang melibatkan sekitar 735 juta penduduk dunia.

Meski sudah diwacanakan sejak lama, kerjasama TPP bagi Indonesia merupakan suatu hal yang baru Hal ini disebabkan absennya Indonesia dalam perundingan klausul TPP yang sudah berlangsung lebih dari 5 tahun lalu. Selain sudah berlangsung lama, perundingan-perundingan dalam TPP terkesan tertutup. Dokumen detail tentang poin-poin perundingan yang telah berlangsung lama tersebut baru terpublish secara resmi tanggal 5 Nopember 2015 melalui laman www.ustr.gov/tpp.

Menjadi suatu tanda tanya besar apabila tiba-tiba Indonesia berniat bergabung dengan kerjasama perdagangan tersebut. Berikut bahasan sisi positif dan sisi negatif apabila Indonesia bergabung dengan TPP

Manfaat

Negara-negara yang tergabung dalam TPP adalah negara-negara yang tergabung dalam G-20 semisal Amerika, Jepang dan Australia. Artinya adalah negara-negara tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang besar. Manfaatnya adalah posisi negara-negara anggota diperhitungkan.

Total PDB negara-negara yang tergabung dalam kerjasama perdagangan TPP mencakup 35,76 persen PDB dunia di tahun 2014. Total nilai PDB tersebut lebih besar dibandingkan dengan Uni Eropa (23,71 persen), kerjasama RCEP (28,73 persen) dan negara-negara di luar tiga kerjasama tersebut sebesar (11,81 persen). Share PDB TPP akan bertambah sebesar 1,15 persen apabila Indonesia masuk ke dalam kerjasama tersebut.

Negara-negara yang tergabung dalam TPP memiliki jumlah penduduk yang banyak. Total jumlah penduduk negara yang tergabung dalam TPP meliputi 11,16 persen atau sekitar 740 juta penduduk pada tahun 2014. Jumlah tersebut merupakan jumlah penduduk yang sangat potensial yang membuka pasar baru, terlebih terdapat negara-negara Amerika Latin di dalamnya yang selama ini belum digarap maksimal oleh Indonesia dalam memasarkan produk ekspornya. Namun demikian, jumlah penduduk negara-negara yang tergabung dalam TPP lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk negara-negara yang tergabung dalam RCEP.

Share penduduk negara-negara RCEP terhadap total penduduk dunia pada tahun 2014 sebesar 46,87 persen, share Uni Eropa sebesar 7 persen dan negara-negara di luar kerjasama tersebut sebesar 34,9 persen penduduk dunia (2014).

Minus

Selain memiliki manfaat, kerjasama TPP bagi Indonesia memiliki mudharat yang lebih besar. Mudharat yang akan diterima oleh Indonesia apabila mengikuti TPP tanpa persiapan panjang -didasarkan pada apa-apa yang tercantum dalam dokumen TPP yang dirilis pada 5 Nopember 2015 lalu adalah pertama neraca perdagangan Indonesia diprediksikan semakin defisit.

Hal ini didasari pada poin kesepakatan bahwa TPP akan menghapuskan 100 % hambatan tariff secara bertahap (berbeda dengan RCEP sebesar 65%). Adanya penghilangan hambatan tariff ekspor-impor sebesar 100 persen antara negara anggota TPP dikhawatirkan akan semakin memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota TPP.

Adanya standar yang sama antar negara TPP terhadap sebuah produk, dipastikan akan membuat barang-barang Indonesia saat ini belum bisa bersaing dengan barang-barang dari negara anggota TPP. Selain standar yang tinggi, daya saing Indonesia yang rendah juga menjadi sebab penyumbang kalahnya produk-produk  Indonesia di luar negeri.

Apabila keran ekspor impor dibuka seluas-luasnya, maka defisit neraca perdagangan bisa semakin melebar. Pada 2014, Indonesia telah mengalami defisit perdagangan dengan 8 negara anggota TPP yakni Australia, Selandia Baru, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Singapura, Chili dan Kanada.

Kedua, TPP mengancam kedaulatan ekonomi nasional. Salah satu klausul dalam TPP adalah investor bisa menggugat negara anggota TPP di arbitrase internasional. Perlakuan yang sama antara BUMN dan perusahaan swasta lainnya, termasuk swasta asing. Perlakuan yang sama antara BUMN dengan perusahaan swasta asing jelas bertentangan dengan semangat pemerintah dalam melindungi kepentingan nasional. Tidak ada pembatasan operasional bank asing di negara-negara anggota TPP.

Ketiga, dipeperlukan perubahan dan penyesuaian undang-undang. Apabila Indonesia bergabung dengan TPP, maka ada beberapa Undang-undang yang harus disesuaikan dengan persyaratan ataupun klausul dalam TPP : Undang-undang perbankan. Adanya pembatasan operasional bank asing di Indonesia yang tercantum dalam UU Perbankan bertentangan dengan tujuan TPP itu sendiri.

Kesimpulannya, pemerintah harus menunda keikutsertaannya dalam TPP hingga Indonesia benar-benar siap. Lebih baik fokus pada kerjasama yang sekarang sudah mulai akan diberlakukan semisal MEA dan intens dalam mengikuti RCEP.


Tulisan pernah dimuat di Opini Harian Kontan, 27 Nopember 2015,