Ibarat orang yang sedang menjalin hubungan asmara, rupiah saat ini sedang dalam masa menanti kepastian dari The Fed. Penantian tersebut berupa jawaban kepastian atas suku bunga The Fed, pasti naik atau tidak. Kepastian, tersebut sangat diperlukan agar rupiah bisa berstrategi. Jika naik, akan terukur dengan jelas dampak yang ditimbulkan dan otoritas moneter bisa menempuh langkah seoptimal mungkin menangani dampaknya.
Jika pun tidak, seberapa lama kah penundaan kenaikannya? Sehingga dengan kepastian yang ada, rupiah bisa menghela nafas lebih lama dan menyiapkan sederetan strategi yang bisa dilakukan untuk menghadapi dampaknya. Namun sangat minor berharap atas segala kepastian tersebut.
Ketidakpastian tentang suku bunga The Fed terakhir muncul pada akhir Oktober 2015. The Economist (28/10) memberitakan bahwa rapat Federal Open Market Committee (FOMC) menahan kenaikan suku bunga The Fed dan membiarkannya pada level 0 – 0,25 persen. Penahanan kenaikan suku bunga tersebut salah satunya didasari pada alasan indikator perekonomian Amerika masih belum sesuai ekspektasi.
Pertumbuhan tenaga kerja Juli – September hanya 140 ribu per bulan, jauh jika dibandingkan dengan periode Mei – Juli sebesar 200 ribu per bulan. Selain itu apresiasi dollar terhadap beberapa mata uang utama dunia juga menjadi salah satu alasan. Apresiasi dollar terhadap mata uang lain akan menjadikan ekspor Amerika tidak kompetitif.
Dari awal Juli hingga awal 3 Nopember 2015, nilai tukar dolar Amerika terhadap Poundsterling menguat 1,27 persen, terhadap Euro 1,12 pesen dan terhadap Yuan China 2,19 persen. Penguatan terhadap ketiga mata uang tersebut merupakan petaka bagi Amerika. Penguatan tersebut menjadikan produk Amerika Serikat di ketiga negara tersebut kurang kompetitif. Ekspor tidak kompetitif, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja pun tidak optimal.
Terkait dengan pertumbuhan ekoonmi, data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kuartal 3 sebesar 1,5 persen. Angka pertumbuhan tersebut di bawah prediksi para ekonom AS yang berkisar di angka 1,7 persen. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal II 2015, angka tersebut jauh lebih rendah 2,2 persen dari anga 3,9 persen. Terlebih dengan pertumbuhan kuartal 3 tahun 2014 yang sebesar 4,6 persen. (US Department of Commerce, Bureau of Economic Analysis).
Bisa diprediksikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kuartal IV 2015 tidak melebihi kuartal IV 2014 yang mencapai 2,1 persen. Pun jika mampu tumbuh 2,1 persen pada kuartal IV 2015, maka pertumbuhan tahunan 2015 tidak akan menyamai tahun 2013 sebesar 2,2 persen. Ini artinya pertumbuhan Amerika Serikat tahun 2015 lebih rendah dibandingkan tahun 2014 sebesar 2,4 persen dan berada pada kisaran 1,9 persen – 2,0 persen. Jika hal tersebut terjadi maka probabiltias penundaan penaikan suku bunga the Fed akan berlanjut hingga 2016. Jadi kemungkinannya kecil apabila keputusan penaikan suku bunga akan dihasilkan pada rapat Federal Open Market Committee pada akhir 2015.
Probabilitas tidak naiknya suku bunga The Fed didukung oleh fakta di luar Amerika Serikat. Dua fakta yang ada adalah kebijakan quantitative easing bank sentral Eropa yang rencananya berlangsung hingga September 2016. Salah satu output akhirnya adalah devaluasi Euro, sehingga ekspor Eropa lebih murah dan kompetitif. Turunnya nilai mata uang Euro terbukti dengan dengan melemahnya mata benua biru ini terhadap mata uang Paman Sam.
Melemahnya Euro tersebut, terutama terhadap dollar Amerika, memperparah defisit current account Amerika Serikat dengan negara-negara Uni Eropa. Hingga kuartal II 2015, defisit current account Amerika Serikat terhadap negara-negara Euro sebesar 9,9 milliar US Dollar. Angkanya lebih tinggi dibandingkan kuartal II 2014 sebesar 2,03 miliar US Dollar. Pun demikian dengan Tiongkok. Defisit current account Amerika Serikat sebesar 172,19 miliar Dollar Amerika Serikat di kuartal II 2015. Angkanya lebih besar dibandingkan dengan defisit kuartal II 2014 sebesar 156,5 miliar US Dollar.
Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia di tengah PHP (pemberian harapan palsu) –penantian- yang berkepanjangan ? Kebijakan utama yang harus dilakukan oleh otoritas moneter dan pemerintah adalah menjaga rupiah tetap stabil, terutama terhadap US Dollar. Level baru Rp 13.500 – 13.600 / US Dollar harus dipertahankan. Paket kebijakan II yang salah satunya berisi insentif pengurangan pajak bunga deposito bagi para eksportir agar menyimpan devisa hasil ekspornya dalam sistem perbankan Indonesia untuk menjaga pergerakan kurs rupiah harus segera diikuti oleh PP atau PMK.
Optimasi paket II menjadi penting karena itu merupakan salah satu kebijakan jangka pendek yang bisa dioptimalkan pemerintah untuk meredam gejolak rupiah di tengah ketidakpastian the Fed. Dan yang pasti, rupiah saat ini sangat membutuhkan kepastian dari Madam Yellen, apakah suku bunga the Fed naik atau tidak. (*)
Pernah dimaut di Kolom Majalah Stabilitas No 113, Nopember – Desember 2016, Tahun XI