Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 tidaklah mengejutkan. Berbagai prediksi sebelumnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak jauh berbeda dengan angka yang dirilis oleh BPS.
Badan Pusat Staistik merilis pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 4,79 persen. Angka tersebut merupakan angka terendah sejak tahun 2010. Namun demikian, pertumbuhan tersebut masih berada di atas pertumbuhan ekonomi Singapura (3,03 persen), Thailand (4,62 persen), Taiwan 3,84 persen, dan Amerika Serikat (3,09 persen).
Berdasarkan sektor, sektor dengan pertumbuhan terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian batu bara dan lignit dengan pertumbuhan –(minus) 20,89 persen. Sedangkan sektor dengan pertumbuhan tertinggi adalah sektor komunikasi dan informasi dengan nilai pertumbuhan 10,6 persen.
Sektor yang terkait dengan industri keuangan yakni Jasa Keuangan Asuransi, Jasa Perantara Keuangan, Asuransi dan Dana Pensiun, Jasa Keuangan Lainnya, dan Jasa Penunjang Keuangan masing-masing tumbuh 8,53 persen; 9,57 persen; 6,6 persen; 7,5 persen dan 5,24 persen.
Pemantik
Apa sebab pertumbuhan melambat ? Faktor internal dan eksternal pemicunya. Faktor internal diantaranya adalah tergerusnya daya beli masyarakat dan kualita belanja pemerintah yang belum optimal. Faktor ekstenal, adalah masih belum membaiknya perekonomian global yang menyebabkan penurunan ekspor serta melemahnya harga komoditas.
Tergerusnya daya beli bisa dilihat dari pertumbuhan pengeluaran rumah tangga tahun 2014 dan 2015. Pertumbuhan pengeluaran konsumesi rumah tangga di tahun 2014 masih di atas 5 persen yakni 5,1 persen. Sedangkan di tahun 2015, pertumbuhannya melambat menjadi 4,9 persen. Salah satu penyumbang perlambatannya adalah konsumsi untuk pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya. Pada tahun 2014, sektor tersebut tumbuh 4,54 persen sedangkan di tahun 2015 hanya tumbuh 3,69 persen.
Kualitas belanja pemerintah yang belum optimal menjadikan stimulus fiskal tidak berdaya ampuh bagi pertumbuhan ekonomi. Sandera belanja rutin terhadap APBN dan APBD di seluruh Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia yang telah berjalan hampir satu dekade menjadikan belanja pembangunan tidak memiliki ruang yang leluasa. Belanja pegawai di APBD Kabupaten/Kota di Indonesia rata-rata berada di kisaran angka 50-60 persen dari total belanja.
Pengharapan terhadap belanja pemerintah agar menjadi stimulus perekonomian akan terwujud apabila ruang belanja pembangunan diperbesar. Namun ini sulit karena memerlukan waktu dan proses panjang. Kebijakan PMN di berabagai BUMN infrastrutkur menjadi asa bagi adanya stimulus pertumbuhan yang berasal dari kantong pemerintah. Namun butuh 2-3 tahun lagi untuk melihat hasilnya, bukan sekarang dikarenakan belanja infrastruktur memerlukan lag untuk melihat dampaknya bagi perekonomian.
Faktor eksternal berupa perlambatan ekonomi global yang belum rampung. Hal China yang masih melambat, Amerika dan Zona Eropa yang masih mencoba untuk bangkit berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia. Ketiga zona tersebut di atas merupakan zona dengan kontribusi ekspor terbesar bagi Indonesia.
Data Kementerian Perdagangan di Indonesia, ekspor non-migas Indonesia ke Tiongkok, menurun dari 21,6 miliar dollar AS pada tahun 2011 menjadi 16,5 miliar dollar AS di tahun 2014.
Penurunan tersebut berlanjut hingga akhir 2015. Dalam sepuluh bulan pertama di tahun 2015 total ekspor Indonesia bernilai total 11,0 miliar dollar AS (non-migas) ke Tiongkok. Nilai tersebut turun 20,3% dari nilai ekspor ke Tiongkok pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Penurunan harga komoditas semakin membuat jeblok ekspor komoditas. Kuantitas sudah menurun ditambah harga yang rendah, maka nilai ekspor pun turun. Imbasnya adalah pertumbuhan sektor pertambangan, terutama komoditas batu bara minus di tahun 2015.
Asa
Perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi perekonomian seperti Indonesia adalah bahaya. Setidaknya ada dua alasan utama. Pertama, pengangguran bertambah, kedua kemiskinan meningkat. Bagi sektor keuangan, kedua indikator tersebut merupakan peringatan. Pengangguran bertambah, kemiskinan meningkat merupakan salah satu tolak ukur daya beli masyarakat yang turun.
Daya beli masyarakat yang turun menjadi masalah tersendiri bagi dunia perbankan. Daya beli turun, barang dan jasa kurang laku, niat investor untuk berinvestasi ataupun menambah nilai investasinya menurun. Akibatnya kredit melambat.
Sejak 2011 hingga sekarang, pertumbuhan kredit setiap tahunnya menurun. Pada tahun 2011 ketika ekonomi tumbuh 6,44 persen, kredit tumbuh 24,59 persen. Tahun 2012 ketika ekonomi tumbuh 6,19 persen, kredit meningkat 23,89 persen. Tahun 2013, ekonomi tumbuh 5,65 persen kredit bertumbuh sebesar 21,80 persen. Pada 2014, perekonomian tumbuh 5,03 persen, kredit melaju 11,60 persen. Di tahun 2015, kredit tumbuh hanya 10,10 persen.
Di tengah perlambatan-perlambatan yang ada, terdapat beberapa sektor yang masih bisa digarap. Pertama, pendidikan. Semakin besarnya perhatian masyarakat Indonesia terhadap pentingnya pendidikan, maka peluang kredit di sektor ini juga terbuka. Kedua, sektor industri pengolahan. Anjlok nya harga komoditas selain batu bara yakni kelapa sawit membuka peluang untuk pengembangan produk kelapa sawit di dalam negeri.
Ketiga pariwisata. Semakin terbukanya sektor informasi, memudahkan informasi tempat-tempat wisata lebih mudah untuk diakses. Akibatnya, peningkatan turis, baik dalam negeri dan luar negeri meningkat. Infrastruktur pariwisata memerlukan banyak pembenahan, kredit bisa masuk ke sektor pariwisata.
Pernah dimuat di Kolom Opini Majalah Stabilitas No 116, 16 Februari– 15 Maret 2016, Tahun XI, www.stabilitas.co.id