Teori pertumbuhan ekonomi menyebutkan bahwa modal menjadi salah satu variabel yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Selain modal, tenaga kerja, tingkat teknologi, entepreneurship juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, modal menjadi variabel yang sangat penting dalam memantik variabel-variabel di luar modal.

Semakin banyak dan berkualitas ketersediaan modal dalam sebuah perekonomian, cateris paribus, maka pertumbuhan ekonomi perekonomian tersebut akan terus bertumbuh. Dan sebaliknya. Ukuran ketersediaan modal bisa dilihat dari indikator saving-investment gap dan kedalaman pasar keuangannya. Kesenjangan tabungan-investasi Keduanya terkait erat dengan seberapa tinggi level inklusi keuangan yang ada.

Symptomp

Indonesia kekurangan modal dari dalam negeri. Kesenjangan tabungan-investasi yang bisa diketahui dengan melihat nilai current account yang bernilai negatif mengkonfirmasi hal ini. Sejak 2012 hingga sekarang nilai, current account Indonesia mengalami defisit. Pada 2012, nilai defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 24,41 miliar dollar Amerika atau 2,65 dari nilai produk domestik brutonya.

Kondisi tersebut di atas terus terjadi hingga 2014 dengan angka yang terus meningkat menjadi 27,48 miliar dolar Amerika atau sekitar 3,09 persen dari produk domestik bruto. Tahun 2015 diperkirakan nilainya akan lebih besar dibandingkan dengan defisit di 2014. Hal ini terlihat dari capaian defisit pada kuartal 2 tahun 2015 sebesar 2,05 dari nilai produk domestik bruto Indonesia.

Di sisi lain, kesenjangan tabungan-investasi yang negatif mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya defisit transaksi berjalan yang ada akan memengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika. Semakin defisit, maka tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika semakin kuat. Imbasnya adalah ancaman inflasi impor serta cadangan devisa yang tergerus.

Keuangan Inklusif

Penting bagi sebuah perekonomian mewujudkan keuangan inklusif yang mampu menyediakan akses keuangan (modal) bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi yang dalam skala lebih luas berujung pada pengurangan angka kemiskinan. Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mewujudkan inklusi keuangan di Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyoo pada Chairman Statement pada ASEAN Summit 2011 silam. Saat ini, komitmen tersebut tertuang dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif.

Keuangan inklusif menurut apa yang tersebut dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif menyebutkan bahwa keuangan inklusif adalah hak setiap orang untuk memiliki akses dan layanan penuh dari lembaga keuangan secara tepat waktu, nyaman, informatif, dan terjangkau biayanya, dengan penghormatan penuh kepada harkat dan martabatnya. Layanan keuangan tersedia bagi seluruh segmen masyarakat, dengan perhatian khusus kepada orang miskin, orang miskin produktif, pekerja migran, dan penduduk di daerah terpencil.

Ganjalan

Namun sayang, dalam implementasinya, keuangan inklusif terganjal beberapa hal, salah satunya masih tingginya interest rate spread di Indonesia. Akibatnya penyaluran kredit menjadi kendala. Jika dibandingkan dengan negara-negara sekawasan ASEAN, interest rate spread di Indonesia masuk kategori tinggi. Hal ini menjadikan penyaluran kredit belum bisa optimal, terlebih ke UMKM.

Rata-rata interest rate spread di Indoenesia pada kurun waktu 2011-2014 sebesar 5,14 persen. Angka tersebut lebih rendah 0,09 persen dibandingkan dengan Singapura sebesar 5,23 persen dan lebih tinggi dibandingkan Malaysia (1,75 persen), Thailand (4,46 persen) dan Filipina (3,55 persen).

Meskipun angka interest rate spread tinggi, laju pertumbuhan kredit di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan DPK nya. Pada kurun waktu 2011 hingga 2014, rata-rata laju pertumbuhan DPK sebesar 19,81% per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan kredit sebesar 14,9% per tahun.

Namun di sisi lain, pertumbuhan dan share kredit UMKM terbilang rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan kredit umum. Rata-rata pertumbuhan kredit UMKM pada periode yang sama sebesar 13,63 persen, lebih rendah 1,27 persen dibandingkan laju pertumbuhan kredit umum.  Porsi penyaluran kredit UMKM juga bisa dibilang rendah jika dikaitkan dengan UMKM sebagai pelaku terbesar perekonomian Indonesia. Pada kurun waktu 2011 – 2014, rata-rata porsi penyaluran kredit UMKM oleh bank umum sebesar 23,13 persen.

Gambaran tersebut di atas menginfokan kepada kita bahwa akses perbankan ke UMKM masih dibilang rendah. Kondisi tersebut menjadi kontradiktif dengan semangat inklusifitas yang dibawa oleh keuangan inklusif di Indonesia.

Diperlukan usaha yang lebih keras dan koordinasi yang saat ini telah terjalin antar pemangku kepentingan yang terlibat dalam kepentingan perwujudan keuangan inklusif di Indonesia. Stakeholder tersebut adalah OJK, Bank Indonesia, Pemerintah dan Perbankan (*)


Pernah dimuat di Kolom Majalah Stabilitas No 115, 16 Januari – 15 Februari 2016, Tahun XI, www.stabilitas.co.id